Monday, February 25, 2013

Pemfosilan Pemikiran Barat


sebuah wacana
PEMFOSILAN PEMIKIRAN BARAT
dengan Just-in-Time

PENDAHULUAN
            Seorang pemuda berumur 28 tahun pada tahun 1813 bernama Baron Drais membuat sepeda kayu yang sangat sederhana seperti gambar dibawah ini. Dengan menggunakan sepeda kayu ini, manusia dapat menghemat waktu hampir empat kali lebih cepat daripada berjalan kaki.


gambar 1. sepeda rancangan Baron Drais

Kemudian pada tahun 1872, August Nicolaus Otto seorang ahli mekanik dan Gottlieb Daimler bekerja sama untuk membuat sepeda motor. Dan pada tahun 1885, tetangga dari Daimler, yaitu Karl Benz yang usianya 10 tahun lebih muda, ternyata berhasil menciptakan kendaraan roda tiga yang lebih cepat.



Gambar a) Kendaraan ciptaan Daimler  

b) Kendaraan ciptaan Benz

Diawali persaingan antara Daimler dengan Benz dan kemudian kedua bersatu pada tahun 1890 dan membentuk perusahaan patungan dengan nama Daimler-Benz, yang sekarang bernama Mercedez Benz.
Kemudian banyak sekali bermunculan industri-industri otomotif yang terkenal. Namun kebanyakan mereka masih berkutat di teknologi otomotifnya sendiri. Bisa dikatakan, penyempurnaan masih belum “disentuh”.

PEMIKIRAN BARAT
Tahun 1776, Adam Smith melalui the Wealth of Nation, menyatakan peran pentingnya spesialisasi dalam bekerja. Hal ini juga dibuktikan yaitu apabila seorang pekerja dapat menghasilkan 1000 pin sehari dengan bekerja sendiri, maka apabila 10 orang bekerja sama dengan spesialisasi akan menghasilkan 48.000 pin seharinya (Hicks, 1994).
Sebagai penyegaran, masih ingat tidak, salah satu tokoh Industri yang kita pelajari waktu mendapat mata kuliah Pengantar Teknik Industri, yaitu F. W. Taylor (1895) dengan memunculkan metoda Scientific Management. Seiring dengan semakin pesatnya Industri Barat setelah revolusi industri.

Pemikiran barat saat itu didasari pada oleh budaya barat yang berciri menonjol dalam kompetisi, individualis dan peran rasional otak kiri manusia. Selain itu, juga sebagai pendorong suksesnya penyelaman ruang angkasa mulai tahun 1970 dan komunikasi komputer tahun 1980 adalah industri barat menganut teori Y, yang beranggapan manusia akan bekerja lebih giat dengan adanya motivasi yang cukup sehingga dapat meningkatkan produktivitas.

Layaknya yang kita pelajari dibangku kuliah, dalam melakukan industri, sebelumnya diadakan perancangan dan perencanaan yang rapi meliputi layout, mesin, aliran bahan dan prosedur kerja. Manajemen industri Barat yang rapi ini disebut dengan Design Based Industry. Meskipun rapi namun manajemen Barat ini cenderung kaku karena tidak dirancang untuk mengadaptasi perubahan lingkungan yang mungkin timbul. Kemudian juga ada MRP (Material Requirement Planning), MRP II (Manufacturing Resource Planning) hingga campur tangan komputer melalui CIM (Computer Integrated Manufacturing).

Kemudian sekitar tahun 1910, sistem Ford dengan jalan bahan baku diolah dan dibawa dengan conveyor menjadi suku cadang. Kemudian pada asembly, komponen-komponen tersebut dirakit dengan kecepatan tetap hingga akhirnya menjadi mobil jadi satu persatu.
Kesuksesan industri Barat juga dialami oleh yang lainnya yang juga menggunakan sistem Ford. Namun dibalik kesuksesan tersebut ternyata, banyak PR yang tersisa,diantaranya yaitu produk Barat terkenal mahal, boros, rumit sehingga banyak complain. 

INDUSTRI TIMUR
            Setelah berakhirnya perang dunia II, Jepang menderita kekalahan dengan terpuruknya perekonomian Jepang. Namun dengan motivasi harga diri dan semangat mempertahankan hidup, bangsa Jepang berusaha mengejar ketertinggalan. Sehingga sekitar tahun 1950, Jepang dapat dikatakan telah pulih kembali.
            Dimulai dengan mengundang pakar dari Amerika yaitu J.M Juran dan nama yang tidak begitu asing bagi kita yaitu W. E. Deming, yang ahli dibidang Quality Control sehingga industri Barat mencapai sukses. Kemudian mulai tahun 1952, industri Jepang seperti Nissan, Mitsubishi, Hino dan Isuzu bekerja sama memproduksi kendaraan dibawah lisensi Austin, Rootes, Renault dan Willys. Setelah 8 tahun mampu meniru, kemudian mulai tahun 1960 industri tersebut telah menggunakan 100% komponen lokal.  
            Selama 40 tahun, industri Jepang terutama di bidang otomotif telah merajai dunia, bagaimana hal ini terjadi? Hal tersebut karena Jepang menggunakan manajemen Barat yang tidak digunakan mentah-mentah, tapi pemakaiannya dipoles sesuai dengan budaya Timur asli.
            Misalnya budaya Timur yang senang ngumpul, diterapkan untuk mengatasi kekakuan manajemen Barat, sehingga Design Based Industry-nya Barat, diaplikasikan  oleh industri Jepang dengan melakukan penyempurnaan yang berkesinambungan dengan melibatkan semua orang secara rutin dan terjadwal, yang kemudian disebut dengan Continually-Improved-Based Industry.
            Terdapat beberapa konsep yang menyebabkan industri di Jepang berkembang pesat, diantaranya yaitu;
1.  Prinsip 5 R
Yaitu ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin. Banyak sekali yang memandang sepele hal ini, namun apabila dilaksanakan dengan konsisten dan disiplin akan terasa hasilnya yang menajubkan.
2. KAIZEN
Merupakan filosofi kerja yang diturunkan dari hasil sistem pendidikan dan interaksi sosial Jepang yang mengutamakan keharmonisan dan kegiatan bersama.
3.  Produksi berorientasi Proses
Manajemen ini menggunakan siklus SDCA, Standardize-Do-Chek-Action. Sehingga apabila terdapat kesalahan akan diperbaiki dan diikuti dengan pembuatan standard baru yang semakin lama akan semakin sempurna.
4.  Berbicara dengan Data
Budaya Jepang yang menonjol adalah mengidentifikasi masalah, mengumpulkan, menganalisis data dan penyelesaiannya. Beberapa toolnya yang tidak asing bagi kita adalah seven tool (diagram Pareto, Ishikawa, sebar, histogram, peta kendali, grafik dan formulir pemeriksaan)
            Dan masih banyak lagi konsep Jepang yang diadopsi dari Barat. Salah satu yang lainnya adalah Just-in-Time yang dipopulerkan oleh Toyota. Berikut sekilas mengenai Just-in-Time.

JUST-IN-TIME
            Just-in-Time merupakan suatu sistem produksi dengan menggunakan Pull System, yaitu material dan komponen ditarik dari belakang pabrik ke arah depan hingga menjadi produk jadi. Berbeda dengan sistem Barat yang pada umumnya menganut Push System, yaitu material dan komponen dibuat dan setelah itu dikirim ke tempat proses selanjutnya (terkadang sebelumnya diletakkan di suatu tempat sebagai persediaan), pendorongan ini dilakukan berdasarkan jadwal. 

Sistem produksi Jepang ini, mempunyai filosofi dasar memperkecil kemubaziran (Eliminate of Waste). Bentuk-bentuk kemubaziran tersebut antara lain;
1.  Waktu
    Misalnya ada pekerja yang menganggur, mesin yang menganggur, waktu material handling yang tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, botleneck dan lain-lain.
2.  Material
    Terlalu banyak scrap, banyak terjadi kerusakan, material yang usang, material yang hilang dan lain-lain.
3.  Manajemen
    Terlalu banyak karyawan, mis-informasi antar departemen, overlaping penugasan dan lain-lain.

            Dikarenakan di Jepang, resource sangatlah terbatas, maka prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas perlu ditegakkan. Maka strategi yang dilaksanakan adalah;
1.  Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan
2.  Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan
3.  Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan

Tujuan dari sistem produksi Just-in-Time adalah memproduksi dengan kualitas (Quality) terbaik, ongkos (Cost) termurah dan pengiriman (Delivery) pada saat yang tepat, disingkat QCD. Kiat agar tujuan tersebut dapat berjalan dengan baik adalah;
1.      Pengendalian kuantitas
Dilakukan dengan sistem informasi yang baik, yang disebut dengan Kanban, termasuk dengan suplier dan konsumen yang pasti dan tepat waktu. Sehingga dengan adanya komunikasi yang baik tersebut diharapkan dapat mengurangi inventory order lead time, yang ujung-ujungnya konsep zero inventory dapat tercapai.
2.      Pengendalian kualitas
Untuk mencapai zero defect, maka departemen pengendalian kualitas (QC) ditiadakan, yang ada adalah Quality Assurance, sehingga pekerja diberi kewenangan untuk tidak memberi hasil produk yang tidak baik ke proses selanjutnya.
3.      Memanusiakan manusia
Terdapat tiga cara, dalam melaksanakannya, yaitu, Otonomi, Flexibility dan Creativity. Contoh flexibility adalah memungkinkan pekerja untuk melakukan subtitusi kerja apabila terjadi kejenuhan dalam bekerja. Keuntungan lainnya yang didapat adalah koordinasi yang baik karena setiap karyawan akan mengerti keterkaitan-nya dengan tugas-tugas rekan yang lain. Sehingga dengan demikian akan dimungkinakan munculnya creativity dari karyawan yang dapat disalurkan melalui brainstorming.

Hal Penting dalam Penerapan Just-in-Time di Toyota
1.      ANDON
Ketika operasi berjalan normal, maka lampu akan menyala hijau. Ketika pekerja membutuhkan bantuan karena sesuatu pada line kerja, maka lampu akan menyala kuning. Jika line kerja berhenti dan membutuhkan perbaikan dari masalah maka lampu akan menyala merah.
2.      AUTONOMATION (AUTONOmous operATION)
Otomasi dengan sentuhan manusia atau mentransfer kecerdasan manusia kepada mesin.
3.      BAKA-YOKE (Fool Proofing)
Inovasi harus dibuat dengan peralatan yang dirancang dengan mencegah kesalahan. Konsep tersebut diterjemahkan sebagai berikut;
-        Jika terjadi kesalahan pada pekerja, maka material tidak dapat digunakan dengan tool.
-        Jika material salah, maka mesin tidak akan berjalan.
-        Jika pekerja melakukan kesalahan, maka mesin tidak akan melakukan proses.
-        Jika terdapat langkah yang terlewat, maka proses selanjutnya tidak akan dimulai

Contoh sederhana dari penerapan BAKA-YOKE adalah, apabila kita memasukkan disket terbalik, maka disket tersebut tidak dapat masuk ke dalam CPU.


gambar 2. pemasukan disket yang terbalik

4.      REAL CAUSE
Didalam penyebab dari suatu masalah, penyebab sebenarnya adalah tersembunyi.
5.      VISUAL CONTROL (Management of Sight)
Berkaitan dengan otonomi atau kewenangan pekerja untuk menyatakan produk yang dihasilkan cacat atau tidak.

Beberapa perbedaan Just-in-Time dengan pemikiran Barat yaitu, di industri Barat, digunakan safety stock untuk beberapa tujuan, namun dalam Just-in-Time, idealnya adalah tidak ada buffer stock, sehingga jika terdapat kesalahan, operasi akan berhenti total sehingga dapat diketahui dengan cepat akar kesalahan dan juga semakin cepat pula penyelesaian permasalahan tersebut (Marc J. Schiederjans, 1993).


 
Ilustrasi

Berikut merupakan tulisan dari Kristianto Jahja (KAIZEN Institute) yang menceritakan pengalamannya mengenai penerapan Just-in-Time.

Pada sekitar 1994, saya bertugas di sebuah pabrik komponen di  kota kecil Bissingen (dekat Stutgart) di Jerman, sebuah projek Kaizen dari sebuah jalur produksi yang menghasilkan produk penghapus kaca (wiper). Ini adalah perubahan cara berproduksi  dari aliran produk yang "jumbled"  menjadi aliran produksi  mengikuti konfigurasi "U". Sebelumnya ada berbagai komponen yang  dibuat di mesin-mesin terpisah untuk kemudian dirakit pada satu  jalur. Seperti umumnya industri Jerman yang punya standard bagus, wadah komponen pun harus mengikuti standard, komponen harus ditempatkan ada palet keranjang yang dikenal dengan DB-standard  (Deutsche Bahn, kereta api). Tentu jumlah per batchnya besar  sekali (mungkin lebih dari 2000), akibatnya perakitan akhir  terdapat banyak palet yang menyita tempat kerja. Kami melakukan  bedah proses, di mana mesin-mesin yang saling berhubungan itu dilakukan re-layout diurutkan mengikuti aliran produk.  Konfigurasi aliran itupun diatur dengan bentuk "U", Lima proses  dengan mesin-mesin yang tidak terlampau besar (seperti mesin  punch, press hidraulis, notcher dsb.) digabungkan dalam satu sel  manufaktur. Satu orang karyawan ditugaskan untuk melakukan semua siklus kerja secara berurutan, sehingga dia harus berjalan dari  satu mesin ke mesin berikutnya, dan  produk diselesaikan satu demi satu, langsung sampai jadi (one piece flow). Jelas ini harus  dilakukan dengan sikap berdiri. Dengan cara ini kami menghapuskan  banyak pekerjaan yang tak perlu terutama pada segi material handling dan barang setengah jadi, aliran produk pun menjadi terkendali disesuaikan dengan  kebutuhan/permintaan konsumen. Ini adalah JIT, yang intinya bukan bukan sekadar mengurangi stock  saja, tapi membenahi cara berproduksi (produktivitas per karyawan  meningkat sekitar 48%).


Contoh Production Line U

            Berikut juga merupakan cerita mengenai penerapan Just-in-Time (yang disebut dengan MAN, Material as Needed) pada motor gede Harley Davidson di Amerika  (sutrisno, 2002).

Pukulan balasan dari kemajuan industri Jepang yang mendasari diri dengan filosofi industri Just-In-Time sangat berat dirasakan oleh industri Amerika pada tahun 1980-an. Harley Davidson yang telah memasuki usia 80 tahun, antara tahun 1981-82 menderita rugi demikian parah karena datangnya empat pesaing industri Jepang, yaitu Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki. Kerugian ini akibat dari kekecewaan pelanggan sebelumnya pada produk Harley Davidson yang dianggap terlalu mahal, dan juga pelayanan purna jual yang dikenal tidak memuaskan.  Penerapan JIT membuat perusahaan ini sehat kembali. Antara tahun 1982-86 terjadi perbaikan kinerja, produktivitas karyawan naik 50 %, pengerjaan ulang turun 80 %, biaya garansi turun 46 %. Perusahaan sepeda motor ini mulai untung kembali sejak 1983 (Dilworth, 1989). Pada perusahaan-perusahaan yang lain terjadi pula perubahan yang spektakuler. Perubahan-perubahan tersebut meliputi, average lead time reduction 90%, inventory turun 35 - 79%, change-over time turun 75-94%, harga material yang dibeli turun 6-11%, cost of quality turun 26-63%.

            Masih banyak lagi penggunaan Pull System di berbagai perusahaan, selain Toyota dengan Just-in-Time-nya, perusahaan lain adalah Hewlett Packard dengan Stockless Production-nya, Westinghouse dengan MIPS, Minimum Inventory Production System-nya, atau juga perusahaan lainnya dengan nama Lean Manufacturing dan sebagainya.

SUMMARY
Tujuan dari penggunaan Just-in-Time adalah melakukan perbaikan bersama-sama secara terus-menerus sehingga akan didapatkan pengurangan beberapa macam pemborosan. Jika dibandingkan dengan Push System, maka akan didapatkan pemborosan karena over produksi. Meskipun kemungkinan permintaan yang didapatkan pertama kali sedikit (kelemahan Just-in-Time adalah ketiadaan demand), namun hasil yang didapat adalah pengurangan inventory sekaligus peningkatan kualitas. Less is more.

Referensi:
Philip E Hicks (1994) Industrial Engineering and Management: A New Perspective, Mc Graw Hill, New York
Marc J. Schniederjans (1993) Just in Time Management, Allyn & Bacon
Sutrisno Eddy, ( Tokoh-Tokoh Industri, Intimedia&Ladang Pustaka, Jakarta
Dick Locke (1996)  Global Supply Management, Mc Graw Hill, USA
Dr. Ir. Sutrisno MSME (2002) Industri Manufaktur Amerika, Jepang, Korea & Menggagas Pengembangan Industri & Teknologi Indonesia
Taiichi Ohno (1988) Toyota Production System, Productivity Press, Portland, Oregon
Norman Bodek, Just In Time, Toyota Production System & Lean Manufacturing, http://www.strategosinc.com/just_in_time.htm
William Patrick Hendrickson, Lean Manufacturing (Just in Time), http://members.aol.com/williamfla/jit.htm

Source : http://taufanyanuar.blogspot.com/2012/10/pemfosilan-pemikiran-barat.html

Saturday, February 9, 2013

People, Culture atau Sistem (part 2.5)


Perubahan adalah respon terencana atau tak terencana terhadap tekanan-tekanan dan desakan-desakan yang ada.

Manajemen Perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi. Perubahan  dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut. 

Ketika kita hendak melakukan proses perubahan, maka harus disadari adanya lime elemen dalam organisasi yang mesti digerakkan secara serentak agar pross perubahan menjadi berhasil. Kelima elemen itu adalah : 
1. System (Process), 
2. Leadership (Organization), 
3. Structure (Management), 
4. People,
5. Culture (shared values).

Tahun 2003, saya pernah melemparkan pertanyaan mengenai permasalahan di Perusahaan yang saya lihat saat kerja praktek di suatu perusahaan Sidoarjo.

Yaitu mengenai prioritas perbaikan dan manajemen perubahan. Antara Sistem, Kultur atau People. Terdapat 22 tanggapan dari 11 member yang menanggapi pertanyaan yang saya ajukan, selengkapnya silahkan klik sistem-kultur-atau-people (part 1).

Hasil "survey" 2003 adalah sebagai berikut:
People (60%)
Sistem (30%)
Culture (10%)

Lalu setelah 10 tahun, yaitu tahun 2013 ini saya melemparkan pertanyaan serupa. Dengan total 10 tanggapan dari 8 member, selengkapnya silahkan klik People-Culture-atau-Sistem-(part 2).

Hasil "survey" adalah sebagai berikut:
People (29%)
Sistem (57%)
Culture (14%)

Dari hasil "penelitian survey" tersebut dapat kita ambil kesimpulan kecil bahwa selama 1 dasawarsa ini orang sudah banyak lebih fokus kepada Sistem daripada People sebagai fokus perhatian. 

Hal ini ditunjukkan bahwa tahun 2003 banyak yang menyatakan People adalah sebagai obyek yang harus diperhatikan dalam perbaikan dan perubahan, sebanyak 60% dan setelah 10 tahun yaitu pada tahun 2013 hanya 29% saja.

Sedangkan Sistem pada 10 tahun yang lalu, yaitu tahun 2003 hanya sebanyak 30% saja yang menjadikannya pusat perhatian dalam perbaikan dan perubahan. Namun kemudian pada tahun 2013 menjadi 57%.

Dan Culture tetaplah dianggap sebagai akibat dari 2 hal faktor utama perubahan yaitu Sistem dan People. Sehingga dari tahun 2003 hanya 10% saja yang menyatakan sebagai obyek yang harus diperhatikan dan tahun 2013 tetap menjadi pupuk bawang yaitu sebanyak 14% saja.

People, Culture atau Sistem (part 2)


Tahun 2003, saya pernah melemparkan pertanyaan mengenai permasalahan di Perusahaan yang saya lihat saat kerja praktek di suatu perusahaan Sidoarjo.

Yaitu mengenai prioritas perbaikan dan manajemen perubahan. Antara Sistem, Kultur atau People. Terdapat 22 tanggapan dari 11 member yang menanggapi pertanyaan yang saya ajukan, selengkapnya silahkan klik sistem-kultur-atau-people (part 1).

Lalu setelah 10 tahun, yaitu tahun 2013 ini saya melemparkan pertanyaan serupa. Dengan total 10 tanggapan dari 8 member.

--------------------------------------
People, Culture atau Sistem

Dear rekan milis Surabaya IPOMS,

Dalam dunia industri hampir semua kegiatan bersifat dinamis. Sehingga semua harus siap melakukan perbaikan (improvement) dan perubahan (change). Sehingga banyak perusahaan yang melakukan continuous improvement di semua departemen dan di segala aspek.

Terdapat 3 hal yang terkait dalam suatu perubahan, yaitu People, Culture dan Sistem / Process. Namun tidak semua orang bisa menerima dan melakukan perubahan. Selalu saja ada yang menolak / resistensi terhadap perubahan tsb.

Jika anda adalah pemilik perusahaan atau anda adalah seseorang yang mempunyai kuasa untuk mengendalikan perusahaan apa yang akan anda prioritaskan untuk dilakukan perubahan, apakah People, Culture atau Sistem / Process terlebih dahulu?

thanks
taufanyanuar


Tanggapan #1

Dear All,

Menurut saya yang harus diprioritaskan adalah sistem. System yang baik akan menciptakan culture dan people yang baik. People harus dibina untuk mengikuti system yang sudah ditetapkan. Kalau tidak bisa dibina ya dibinasakan.System yang baik akan meng-encourage people untuk improve. Improved system and people will create improved culture.
Just my two cents.

Regards,
Johan


Tanggapan #2

Rekan-rekan,

people dulu tentunya karena manusia adalah masterpiece ciptaanNya. people dan culture seperti benda dan bayangannya. Bayangan ada karena ada benda tetapi keduanya selalu hadir bersamaan.

Eko


Tanggapan #3

Pak Johan dan Pak Eko,

Ketiga-tiga memang penting dan harus segera dibenahi, namun sebagai prioritas utama saya sependapat dengan pak Johan, Sistem-lah yang harus pertama dilakukan pembenahan sehingga nantinya akan mempermudah kita membenahi 2 faktor berikutnya, yaitu People dan Culture / Budaya. 

Jadi semua Standard Operating Procedure (SOP) harus kita review ulang dan benahi. Sistem pengecekan seperti checksheet dan audit juga harus di review. 

Ada pendapat yang lain?

thanks
taufanyanuar


Tanggapan #4

Dear All,

Menurut saya dari perjalanan implementasi culture, mungkin yang perlu kita lakukan di assessment dulu keadaan organisasi sehingga dari dasar itu kita bisa bikin checklist prioritas mana yang akan dibenahi, namun menurut saya Paling dasar adalah people, karena sebaik baiknya system akan tidak berjalan dengan baik bila People dan Culturenya tidak sinergi. Apabila people dan culturenya sudah terbentuk makan system yang akan menyesuaikan keadaan.

Regard’s
Rahadian Prabowo.


Tanggapan #5

Dear all,

Ikut nimbrung, diskusinya menarik tentang perubahan... 

Kalau menurut saya, perubahan itu dimulai dari sistem dan orang dulu. Sistemnya kita buat dan kita harus yakin bahwa sistem yang akan berjalan itu bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik, setelah itu kita mulai menggemakan adanya perubahan sistem ke people...bertahap mulai dari struktur organisasi yang paling atas menuju bawah.

Kalau budaya saya pikir itu akibat... Butuh waktu yang lama untuk mengubah budaya. Sepengetahuan saya rata-rata butuh waktu 2 - 3 tahun utk mengubah budaya di organisasi yang banyak orangnya, 

Desnik


Tanggapan #6

Dear all,

Sekarang coba kita analogikan, apabila sebuah perusahaan sudah berjalan, maka yang kita set-up dulu apakah systemnya atau culturenya terlebih dahulu? Bukanya kalau dengan perubahan system tanpa membentuk culture terlebih dahulu biasanya akan terjadi “Penolakan” atau Statement “Biasanya bisa kok pakai cara lama”

Karena bila kita berkaca dari sebuah litelatur mengatakan Culture merupakan sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni,moral, hukum, adat, kapabilitas dan kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu..

Best Regard's
Rahadian Prabowo


Tanggapan #7

Ini spt "lebih dulu mana : telor atau ayam?"

Kalau kita tarik ke tahun2 sblm perusahaan berdiri atau sistem itu ada, pasti dikarenakan adanya culture yg terbentuk oleh people yg menemukan cara masing2 kemudian didevelop mjd system.

Apakah spt ini mungkin flownya?

People ---> culture ---> system --->people --->culture -----> system ---> people dst

Berkesinambungan

Nah itu kalau jaman dulu, kalau kita bicara jaman modern?
Sistem sdh ada, people dihired pertama kali perusahaan berdiri utk mengikuti system lalu mereka membentuk culture. Lalu people berusaha utk memperbaiki sistem yg ada mjd lbh baik dan efisien dgn memperbaiki culture yg ada yg kemudian perubahan culture itu akan ditangkap dan dijadikan baku dlm sistem

Sistem ---> people ---> culture ----> sistem?

Apa seperti ini mungkin?

Wijanarko


Tanggapan #8

Dear all,

Mungkin ada baiknya melakukan assessment dahulu untuk mengetahui. Kondisi perusahaan, karena setiap case perusahaan berbeda.

Best Regard's
Rahadian Prabowo


Tanggapan #9

Dear Kawan,

Ikut urun rembug……

Untuk melakukan sebuah perubahan, maka kita mesti tahu apa yang harus diubah. Kita tidak bisa mengatakan harus system dulu, orang dulu atau culture dulu sebagai tiga factor yang kita diskusikan.  Bagaimana mengetahuinya, maka kita harus melakukan assessment. Assessment yang didasarkan pada apa yang mau kita capai atau goal dari perubahan yang kita mau buat.

Dari sinilah titik tolak implementasi perubahan dilakukan.

Bagaimana melakukan perubahan? Kita bisa merujuk pada 8 step perubahan yang dikonsepkan oleh Kotter yang step awalnya adalah set of urgency.

Semoga bermanfaat.

Thanks
Jabat erat,
Fauzi Arif RH


Tanggapan #10

Dear all, 

Bisa juga tergantung pada besar dan bentuk organisasi yang akan kita ubah ya pak?
Berarti memang tidak ada acuan yang pasti mengenai hal tersebut ya? 

karena berdasarkan pengalaman saya, semuanya memang dimulai dari apa tujuan dari perubahan tersebut? lalu kemudian system nya kita buat seperti apa yang bisa membawa perusahaan ke tujuan tersebut, kemudian baru kita floor ke orang-orang yang berhubungan dengan perubahan tersebut. 

yang tersulit adalah bagaimana menghadapi penolakan tersebut, karena penolakan akan berlangsung dalam jangka waktu yang tidak sebentar... :) apalagi hasilnya tidak bisa langsung kelihatan... 

Niko

Related Posts