Friday, July 15, 2016

PPIC


Production Planning and Inventory Control

PPIC (Production Planning and Inventory Control) merupakan bagian kerja perencanaan produksi dan pengendalian produksi yang menjembatani bagian marketing atau pemasaran, bagian produksi, bagian HRD dan bagian keuangan dengan tujuan pengelolaan material agar tepat dari sisi
- Quality (mutu)
- Cost (biaya)
- Delivery (waktu dan jumlah)

Sehingga bisa disimpulkan bahwa PPIC memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi Planning (Production Planning) dan fungsi Inventory (manajemen Inventory).

Job Desc
Job Desc atau tugas utama PPIC adalah sebagai berikut :
  1. Membuat rencana produksi perusahaan yang berpedoman pada rencana sales marketing.
  2. Menyusun rencana pengadaan bahan yang didasarkan atas forecast dari marketing melalui pemantauan kondisi stock barang yang akan diproduksi
  3. Melakukan monitoring pada bagain inventory pada proses produksi, penyimpanan barang di gudang 
  4. Membuat jadwal proses produksi sesuai dengan waktu, routing dan jumlah produksi yang tepat 
  5. Menjaga keseimbangan penggunaan mesin perusahaan sehingga tidak ada mesin produksi yang overload atau malah jarang digunakan oleh perusahaan produksi
  6. Melakukan komunikasi dengan bagian marketing untuk memastikan penyelesaian masalah produksi
  7. Memberikan informasi yang akurat dan terpercaya pada seluruh bagian karyawan perusahaan

Sumber:
http://manajemenproduksi.com/tugas-pokok-dan-jobdes-manajer-ppic/
http://www.transkerja.com/2014/06/tugas-dan-fungsi-staff-production.html

Saturday, May 21, 2016

Business Process Reengineering Concept


Makalah : Business Process Reengineering
A tutorial on the concept, evolution, method, technology and application

Makalah berjudul Business Process Reengineering : A tutorial on the concept, evolution, method, technology and application  (Grover, Varun dan Manoj  K Maholtra, 1996), menyampaikan konsep BPR dengan bentuk contoh perbandingan antara sebelum dan sesudah penerapan BPR pada perusahaan Ford dan Detroid Edison yang merupakan suatu uforia.

Pengertian BPR dari sisi praktisi dan bedanya dengan konsep yang sudah ada seperti TQM dan Kaizen, logika reengineering, tahapan pelaksanaan BPR, teknologi yang mendukung BPR, kenyataan yang ditemui saat penerapan BPR dalam suatu enterprise, dan perkembangan BPR di masa depan.

Konsep yang dijelaskan dalam makalah ini disampaikan melalui penerapan konsep BPR di perusahaan Ford, Xerox dan Detroit Edison yang mampu meningkatkan kinerja perusahaan (melakukan perbaikan) secara signifikan.

Penulis mempertanyakan apakah BPR merupakan obat yang sangat mujarab untuk mengobati penyakit pada perusahaan atau hanya langkah terakhir yang dapat ditempuh oleh perusahaan. Para konsultan mengemas ulang konsep lama untuk selanjutnya dijual kepada perusahaan dengan harga yang tidak murah. Di lain sisi, akademisi ada yang pro dan kontra dengan BPR.

Perkembangan atau evolusi BPR adalah melalui fase
(1) penerapan program-program yang ditawarkan oleh konsultan kepada perusahaan di pertengahan tahun 1980an termasuk di dalamnya penerapan Teknologi Informasi (TI),
(2)  focus pada perbaikan proses dengan menggunakan standard an alat statistik termasuk di dalamnya adalah TQM dan Kaizen,
(3) menekan biaya perusahaan karena resesi ekonomi di awal tahun 1990an termasuk di dalamnya peningkatan fleksibilitas dan kepekaan perusahaan,
(4) paradox produktivitas dengan anggapan bahwa investasi teknologi akan meningkatkan produktivitas
(5) legitimasi tentang reengineering dengan buku “Reengineering  the Corporation” dan buku “Process Innovation”,
(6) efek Bandwagon dimana perusahaan (Cigna, MBL, Xerox, IBM) mengadopsi reengineering.

Istilah BPR sering digunakan dengan istilah perbaikan proses, transformasi bisnis, inovasi proses dan merancang–ulang proses bisnis.  Elemen inti reengineering adalah
(1) perubahan signifikan,
(2) unit analisisnya adalah proses bisnis,
(3) perbaikan kinerja yang dramatis,
(4) teknologi informasi adalah critical enabler untuk perubahan.

Reengineering sedikit berbeda dengan TQM walaupun fokusnya adalah sama yaitu proses bisnis. Inisiasi  TQM adalah bottom-up dan BPR adalah top-down.


Sumber :
http://www.slametpurwanto.com/2013/03/business-process-reengineering-bpr.html
https://www.deepdyve.com/lp/elsevier/business-process-reengineering-a-tutorial-on-the-concept-evolution-DaWxWwKZPv

Tuesday, May 17, 2016

Business Process Reengineering


Business Process Reengineering (BPR) adalah proses merubah proses bisnis dengan tujuan agar bisnis proses menjadi lebih efektif dan efisien tanpa adanya perubahan pada struktur organisasi dan fungsi bisnis proses.

BPR pertama ditulis dan dipublikasi oleh Hammer (1990) dan Davenport & Short (1990) dan Hammer & Champy (1994), “Re-engineering is the fundamental rethinking and radical redesign of business processes to achieve dramatic improvements in critical, contemporary measures of performance, such as cost, quality, service and speed.

”Hammer and Champy (1994, p32) menyatakan Business Process Reengineering adalah suatu pendekatan yang sama sekali baru berkenaan dengan ide dan model yang digunakan dalam memperbaiki bisnis. Davenport & Short (1990) lebih melihat Business Process Reengineering sebagai perluasan dari “industrial engineering”.

Business Process Reengineering atau Rekayasa Ulang Proses Bisnis merupakan pemikiran kembali secara fundamental dan perancangan kembali proses bisnis secara radikal, dihasilkan dari sumber daya organisasi yang tersedia.

BPR menggunakan pendekatan untuk perancangan kembali cara kerja dalam mendukung misi organisasi dan mengurangi biaya. Perancangan ulang dimulai dengan penaksiran level tinggi terhadap misi organisasi, tujuan strategis, dan kebutuhan pelanggan.

Business Process Reengineering juga dikenal dengan istilah Business Process Redesign (Perancangan Ulang Proses Bisnis), Business Transformation, atau Business Process Change Management.

Business Process Reengineering (BPR) dimulai sebagai teknik sektor privat untuk mendukung organisasi secara fundamental memikirkan kembali bagaimana mereka mengerjakan bisnis yang mampu meningkatkan jasa kepada pelanggan, memotong biaya operasional dan menjadi kompetitor kelas dunia.

Kunci utama dalam perancangan ulang adalah pengembangan sistem informasi dan jaringan. Organisasi-organisasi besar semakin banyak menggunakan teknologi ini untuk lebih mendukung proses bisnis yang inovatif dibanding memperbaiki metode kerja pada saat yang sama.

BPR meliputi analisis dan perancangan alir kerja (workflow) dan proses-proses dalam sebuah organisasi. Berdasarkan Daven ports (1990), proses bisnis adalah sekelompok tugas-tugas yang saling berhubungan secara logis, dilaksanakan untuk mencapai sebuah hasil bisnis yang jelas.

Re-engineering ("rekayasa ulang") adalah dasar dari perkembangan-perkembangan manajemen yang muncul belakangan ini. Tim lintas-fungsional (Cross-functional team), contohnya, telah banyak dikenal karena perannya dalam perancangan ulang tugas-tugas fungsional yang terpisah menjadi proses-proses lintas-fungsional yang lengkap.


Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Business_Process_Reengineering
http://sis.binus.ac.id/2014/10/06/business-process-reengineering/

Sunday, May 8, 2016

Reinventing Business Process Based on ERP Database


Prof Iwan Vanany ST MT PhD sebagai gubes (guru besar) dalam bidang ilmu rekayasa proses bisnis serta analisis fungsional dan asimilasi data, dalam orasi ilmiahnya mengangkat tema Business Process Re-engineering : Komponen, Faktor Kritis dan Lingkup Implementasinya.

"Business Process Re-Engineering: Komponen, Faktor Kritis, dan Lingkup Implementasinya"

Prof Iwan Vanany ST MT PhD dari Jurusan Teknik Industri menyatakan bahwa proses bisnis adalah urat nadi dari bisnis itu sendiri. Peningkatan bisnis perusahaan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kemampuan perusahaan merampingkan proses bisnis itu sendiri agar lebih efisien dan efektif atau membuat proses bisnis baru guna memberi nilai lebih dari produk dan jasanya.

Oleh karena itu, rekayasa proses bisnis (Business process re-engineering) adalah salah satu topik keilmuan dari disiplin ilmu Teknik Industri yang berupaya mengelola proses bisnis dari "input" hingga menjadi produk atau jasa yang memiliki nilai lebih secara efisien dan efektif.

Menurut Iwan, aplikasi atau implementasi rekayasa proses bisnis telah berhasil dilakukan di beberapa sektor seperti manufaktur, kesehatan, telekomunikasi dan perbankan. Ia meyakini, rekayasa proses bisnis mampu meningkatkan keunggulan operasi dan pelayanan pelanggan.

Lanjut Iwan, ia pun mengambil perusahaan besar seperti Walmart, Hewlett Packard (HP) dan Ford sebagai contoh. Walmart misalnya, perusahaan retail terkemuka di Amerika Serikat itu berhasil mereduksi waktu re-stocking barang jualannya dari waktu enam minggu menjadi 36 jam. '

'Begitu pula HP, sebagai perusahaan komputer, mereka berhasil mereduksi waktu perakitan komputernya menjadi empat menit setiap unitnya,'' terang dosen kelahiran Singaraja tersebut.

Kendati demikian, menurutnya upaya rekayasa proses bisnis dapat berjalan dengan baik bila berpihak pada kerangka kerja yang komprehensif dan sesuai dengan kondisi lingkungan bisnisnya. Kerangka kerja adalah sebuah panduan berisikan komponen penting pendukung dan pendorong untuk upaya merekayasa proses bisnis.


Sumber :
https://www.its.ac.id/berita/14221/en
http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/142557-Guru-Besar-ITS-Terapkan-Matematika-untuk-Kendalikan-Banjir

Friday, April 22, 2016

New Seven Tools

7 Tools & 7 New Tools untuk Peningkatan Kualitas Mutu


Di dalam peningkatan produksi maupun jasa perusahaan yang semakin meningkat, akan diperlukan berbagai metode dan alat bantu (tools) yang bisa digunakan untuk mengeliminasi kegagalan / failure sehingga error dapat dihindari dengan tepat, cepat dan cermat.

Peningkatan kualitas produksi dan jasa dapat dilakukan dengan berbagai alat bantu. Salah satunya adalah dengan 7 Tools yang merupakan alat bantu dalam pengolahan data untuk peningkatan kualitas (eksplorasi kuantitatif - statistik), dan 7 New Tools merupakan alat bantu dalam memetakan masalah secara terstruktur, guna membantu kelancaran komunikasi pada tim kerja, dan untuk pengambilan keputusan (eksplorasi kualitatif).

Dengan menggunakan 7 Tools maka problem numerik yang mengacu apda data dapat terselesaikan dengan cepat & mudah. Hal ini karena 7 Tools masih berlandaskan pada statistika yang dipelajari oleh semua kalangan yang tanpa membutuhkan pendidikan yang tinggi untuk dapat mempelajarinya.

Sedangkan dengan 7 New Tools diperlukan untuk memecahkan masalah secara kualitatif di tingkat management. Jadi apabila kita sudah melakukan analisa 7 Tools, maka kita akan memperoleh data-data faktual yang kesemuanya itu membentuk sebuah pola / pattern tertentu yang biasanya digambarkan & diilustrasikan ke dalam bentuk visual / diagram dan bukan berbentuk laporan tulisan yang membosankan & membingungkan.

Apa saja tools-tools tersebut ?

7 Tools
1. Histograms
2. Flow Charts
3. Scatter Diagrams
4. Pareto Charts
5. Cause and Effect Diagrams (Fishbone)
6. Check Sheets
7. Control Charts

7 New Tools
1. Affinity Diagram
2. Diagram Keterkaitan (Interrelationship Diagram)
3. Tree Diagram / Systems Flow Chart
4. Matrix Diagram
5. Matrix Data Analysis
6. Process Decision Program Chart (PDPC)
7. Arrow Diagram or PERT / CPM


Sumber :
http://www.konsultan-indonesia.com/quality-management/71-7-tools-7-new-tools-untuk-peningkatan-kualitas-mutu
https://id.pinterest.com/pin/160511174192630466/
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/3b/73/7c/3b737cabfe3afc7bda4cddc76dc30984.jpg

Seven Tools

Tujuh Alat Pengendalian Kualitas


QC Seven Tools atau Tujuh alat Pengendalian Kualitas adalah Alat-alat Statistik yang dipergunakan untuk meningkatkan Kualitas dan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam proses Manufakturing.

Dengan adanya QC Seven Tools ini, kita dapat mengidentifikasikan masalah dan mempersempitkan ruang lingkup masalah tersebut serta menemukan faktor penyebab terjadinya masalah. Dengan demikian kita dapat dengan mudah mencari tindakan perbaikan dan pencegahan dengan tepat sehingga permasalahan yang sama tidak akan muncul lagi.

Alat-alat Statistik dalam pengendalian kualitas (Quality Control) ini pada dasarnya telah diperkenalkan oleh para ahli pengendalian kualitas dari Amerika Serikat seperti W. Edwards Deming dan Joseph M. Juran saat memberikan pelatihan kepada para Engineer di Jepang dibawah naungan JUSE (Japan Union of Scientists and Engineer) pada tahun 1950-an.

Seorang profesor Engineering di Universitas Tokyo yang bernama Kaoru Ishikawa kemudian mengemukakan bahwa dari alat-alat tersebut, terdapat 7 alat utama yang dapat menyelesaikan hampir 95% permasalahan yang dihadapi oleh Industri-industri Manufakturing. Ketujuh alat tersebut yang terdiri dari Cause and Effect Diagram, Check Sheet, Pareto Diagram, Histogram, Control Chart, Scatter Diagram dan Flowchart ini kemudian dikenal dengan istilah QC Seven Tools atau Tujuh Alat Pengendalian Kualitas. Prof. Kaoru Ishikawa juga dikenal sebagai Bapak “Quality Circles”.

QC Seven Tools (Tujuh Alat Pengendalian Kualitas)

Berikut ini adalah 7 (Tujuh) alat pengendalian Kualitas yang dikemukakan oleh Kaoru Ishikawa beserta penjelasan singkatnya :


1. Cause and Effect Diagram (Diagram Sebab Akibat)

Cause and Effect Diagram atau Diagram Sebab Akibat adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasikan hubungan antara sebab dan akibat agar dapat menemukan akar penyebab masalah. Diagram Sebab Akibat ini juga dikenal dengan Fishbone Chart karena bentuknya seperti Tulang Ikan. Diagram ini pertama diperkenalkan oleh Kaoru Ishikawa sehingga ada juga yang menyebutkannya sebagai Ishikawa Diagram.


2. Check Sheet (Lembar Periksa)

Check Sheet atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Lembar Periksa adalah alat QC Seven Tools yang paling sederhana dan sering digunakan sebagai alat untuk pengumpulan data.


3. Pareto Diagram

Pareto Diagram atau Diagram Pareto adalah alat statistik yang digunakan untuk menunjukan urutan permasalahan dari yang tertinggi (paling banyak) hingga yang terendah (paling sedikit). Bentuk dari Diagram Pareto adalah Grafik dengan Batang tertinggi berada di sebelah kiri dan semakin rendah ke kanan. Diagram Pareto umumnya digunakan untuk menentukan prioritas dalam penyelesaian masalah.


4. Histogram

Histogram adalah grafik statistik yang berbentuk batang untuk menunjukan frekuensi distribusi atau seberapa seringnya suatu nilai itu terjadi dalam pengambilan data. Manajemen dapat mengambil kesimpulan atau keputusan yang tepat berdasarkan pola distribusi yang ditunjukan oleh Histogram.


5. Control Chart (Peta Kendali)

Control Chart atau Peta Kendali adalah alat QC yang berbentuk grafik garis dan dipergunakan untuk memantau stabilitas suatu proses dari waktu ke waktu. Pada umumnya, Control Chart memiliki batas atas dan garis bawah serta garis tengah untuk nilai tengahnya.


6. Scatter Diagram (Diagram Pencar)

Scatter Diagram atau Diagram Pencar dalam pengendalian kualitas berfungsi untuk mengetahui seberapa kuatnya hubungan antar 2 variabel serta menunjukan jenis hubungan 2 variabel tersebut. Umumnya, Scatter Diagram memiliki 3 pola hubungan yaitu Hubungan Positif, Hubungan Negatif dan Pola yang menunjukan tidak adanya hubungan antar kedua variabel tersebut.


7. Flowchart (Diagram Alir)

Flowchart atau Diagram Alir adalah bagan yang digunakan untuk mengambarkan proses-proses operasional sehingga mudah dipahami dan dilihat berdasarkan urutan langkah dari suatu proses ke proses lainnya. Flowchart sering digunakan sebagai dokumentasi untuk standarisasi proses sehingga menjadi pedoman penting dalam menjalankan operasionalnya.

Catatan : Pada versi-versi tertentu, Flowchart juga sering diganti dengan alat-alat lainnya seperti Stratifikasi (Stratification) dan Run Chart.


Sumber :
http://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-qc-seven-tools-tujuh-alat-pengendalian-kualitas/
http://www.nicobudidarmawan.com/2015/04/7-seven-basic-tools-of-quality-overview.html

Tuesday, February 23, 2016

Continuous Improvement


Continuous improvement adalah usaha-usaha berkelanjutan yang dilakukan untuk mengembangkan dan memperbaiki produk, pelayanan, ataupun proses. Usaha-usaha tersebut bertujuan untuk mencari dan mendapatkan “bentuk terbaik” dari improvement yang dihasilkan, yang memberikan solusi terbaik bagi masalah yang ada, yang hasilnya akan terus bertahan dan bahkan berkembang menjadi lebih baik lagi.

Salah satu tool yang digunakan untuk menjalankan misi Continuous Improvement adalah “pemodelan kualitas empat langkah” yang disebut PDCA (Plan-Do-Check-Act) atau Siklus Deming atau Siklus Shewhart.

PDCA terdiri dari 4 tahapan yaitu

Plan: 
Tahap dilakukannya identifikasi peluang untuk perubahan dan rencana bentuk perubahan yang akan dilakukan.

Do: 
Implementasi perubahan dalam skala kecil.

Check: 
Menggunakan data untuk menganalisa hasil dari perubahan dan menentukan apakah perubahan yang dilakukan telah / akan mendatangkan perbedaan yang berarti.

Act: 
Jika perubahan dianggap sukses, implementasikan perubahan tersebut dalam skala yang lebih besar dan pertahankan hasilnya. Jika perubahan belum mendatangkan perbedaan yang berarti, ulangi kembali siklus PDCA.

Metode lain yang sangat populer untuk Continuous Improvement, seperti Lean, Six Sigma, atau TQM (Total Quality Management), mendorong keterlibatan karyawan dan membutuhkan kemampuan teamwork yang baik. Metode tersebut mendorong perusahaan untuk mengukur dan melakukan sistematisasi proses, mengurangi variasi, mengurangi cacat (defect), dan memperpendek cycle time.


Continuous atau Continual?

Continuous dan continual improvement adalah dua istilah yang sering digunakan secara bersilangan. Namun beberapa praktisi quality berpendapat bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda.

Berikut perbedaannya:

Continual Improvement:
adalah istilah yang lebih luas, yang digunakan oleh W. Edwards Deming untuk merujuk kepada proses improvement yang sifatnya umum (luas) dan meliputi improvement yang “terputus”. Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dan meliputi bidang-bidang yang berbeda pula.

Continuous Improvement:
adalah bagian tersendiri dari continual improvement, dengan fokus yang spesifik merujuk kepada improvement yang linear dan terus berkembang untuk diterapkan pada proses yang telah ada. Beberapa praktisi juga mengaitkan continuous improvement dengan teknik-teknik proses kontrol yang akrab dengan utilisasi ilmu statistik.

Continuous Improvement (CI) merupakan sebuah filosofi dasar mengenai bagaimana mencapai standar kualitas yang optimal melalui beberapa langkah perbaikan yang sistematis dan dilaksanakan secara berkesinambungan. CI lebih menekankan pada beberapa tindakan perbaikan yang sederhana namun dilakukan secara terus menerus yang kemudian akan menumbuhkan banyak ide atau inovasi sebagai sebuah solusi atas masalah yang timbul.

Tindakan tersebut tidak hanya dilakukan untuk satu tahun atau merupakan aktivitas bulanan, melainkan secara berkesinambungan dan dilakukan oleh setiap pribadi dalam organisasi mulai dari manajemen puncak hingga ke pegawai dasar. Sebagai contoh di perusahaan Jepang, seperti Toyota dan Canon, setiap pegawai memberikan 60-70 saran perbaikan yang ditulis, kemudian dipresentasikan serta didiskusikan, dan kemudian diimplementasikan.

Filosofi Continuous Improvement merupakan transformasi dari konsep "Kaizen", yang memperbaiki setiap kesalahan yang muncul dalam proses produksi secara bertahap dan dimulai dengan memperbaiki kesalahan yang besar hingga ke yang kecil sampai tidak ditemukan lagi kesalahan dalam proses produksi (zero defect).

Untuk menerapkan Continuous Improvement perlu ditempuh empat tahap dasar, yaitu:

  1. Perusahaan harus mampu mendefinisikan proses manajemen yang bermanfaat dan berguna yang bukan hanya generic, melainkan juga mampu menjelaskan aliran pekerjaan yang jelas, deskripsi kerja langkah demi langkah, pedoman & identifikasi yang jelas, sumberdaya, informasi, metode yang akan digunakan, dan mekanisme saling membantu satu sama lain;
  2. Perlunya persamaan persepsi antara Unit IT dan Unit Pengguna dengan berkolaborasi dalam menentukan teknologi yang bukan hanya mutakhir namun juga dapat diadopsi oleh unit pengguna;
  3. Menggunakan sumber daya yang sudah ada dalam organisasi dengan mengekplorasi lebih dalam dan membagi pengetahuan tersebut kepada seluruh personal;
  4. Memaafkan kesalahan manusia karena dapat ditingkatkan melalui manajemen, coaching, training, dan pengalaman yang berkesinambungan dalam dunia kerja.


Setelah keempat tahap dasar tersebut dilalui, maka proses Continuous Improvement dapat diterapkan dengan baik sehingga tidak ditemukan lagi kesalahan (zero defect) dalam proses produksi. Dengan demikian mengharapkan suatu hasil tanpa kesalahan (zero defect) tanpa melalui proses Continuous Improvement hanya akan menjadi angan-angan. Penerapan Continuous Improvement secara umum, akan bermanfaat untuk menurunkan biaya dan meningkatkan kinerja yang dimungkinkan dalam suatu penciptaan lingkungan kerja yang lebih baik.


Sumber :
http://shiftindonesia.com/memahami-makna-continuous-improvement/
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20061221165236

Related Posts