Thursday, November 12, 2020

SOP dan Work Instruction

Seringkali kita mendengar istilah SOP (Standard Operating Procedure) dan WI (Work Instruction) didalam sistem manajemen mutu dan kadangkala kesulitan membedakan diantara keduanya. Persamaan pengertian SOP dan WI merupakan suatu panduan (pedoman) yang menjelaskan mengenai kegiatan atau proses itu dilakukan (dilaksanakan), sedangkan yang membedakan adalah SOP lebih luas ruang lingkupnya dan menggambarkan banyak aktifitas dari suatu proses sedangkan untuk WI merupakan petunjuk atau cara dalam melakukan satu jenis aktifitas.

SOP atau Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja atau dengan kata lain SOP adalah suatu panduan yang menjelaskan secara terperinci bagaimana suatu proses harus dilaksanakan. SOP biasanya tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal.

Tujuan dari SOP adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja di satu organisasi.

Working Instruction/WI atau Instruksi Kerja adalah: tata cara dalam melakukan satu jenis aktifitas, misalnya dalam melakukan wawancara detail yang dikerjakan.

Perbedaan antara SOP dan WI adalah dari kompleksitas aktifitasnya, kalau SOP menggambarkan pengendalian banyak aktifitas dari suatu proses, misalnya SOP Produksi, sedangkan WI hanya merupakan petunjuk atau tata cara dalam melakukan satu jenis aktifitas, misalnya WI untuk pengemasan Produk ABC, WI dalam proses interview yang merupakan turunan dari SOP Recruitment & Selection.

SOP biasanya menggambarkan flowchart hubungan antar proses/aktifitas, misalnya untuk prosedur produksi, salah satu input dari prosesnya adalah hasil atau keluaran  dari proses distribusi barang mentah, dan keluaran/output dari proses produksi menjadi input dari SOP pengemasan/pengepakan (misalnya).

Sedangkan  instruksi kerja menceritakan deskripsi teknis dari suatu  aktifitas misalnya instruksi kerja mesin percetakan dimana instruksi itu menggambarkan urut-urutan, mulai dari menyalakan  tombol sampai mesin itu bekerja sampai dengan selesai atau cara mematikan mesin.

Sebagai gambaran pada industri manufacture ada kegiatan dari mulai penerimaan bahan baku, pengolahan dan pengemasan produk. Untuk menjelaskan kegiatan tersebut maka dibuat SOP, salah satunya SOP pengemasan yang memuat mengenai alat, bahan dan aktifitas. Lalu untuk menjelaskan detail pelaksanaan SOP tersebut dibuatlah WI atau intruksi kerja misalnya ada aktifitas mesin kemas maka dibuat WI mesin kemas yang memuat urutan dari mulai menghidupkan mesin, mesin bekerja sampai mematikan mesin.

Di bawah alur tahapan pada sistem manajemen mutu sebagai berikut :

Tahapan akhir dari WI adanya form record atau laporan yang memuat kegiatan dari aktifitas yang telah dilakukan. Adanya form ini akan memudahkan dalam melakukan monitoring atau evaluasi terhadap aktifitas. Disamping itu juga laporan kegiatan akan memberikan manfaat pada traceability (penelusuran) apabila ada permasalahan yang muncul diakibatkan karena kesalahan proses.


Sumber :

https://bestpracticesindustrial.wordpress.com/2014/06/07/perbedaan-sop-dan-wi/

http://businessshownet.blogspot.com/2013/04/bls-bls-hrm-club-bedanya-sop-dan.html

Wednesday, September 30, 2020

Integrated Performance Measurement System

A fully integrated approach is now considered a standard approach to performance measurement; especially with the advent of the Balanced Scorecard. An integrated approach recognizes that measurement should be process oriented and cut across functional areas. It also recognizes that a balanced set of measures, both financial and non-financial, is needed for a complete picture of what is going on.

The best types of measurements provide more than score keeping; they help you understand what changes are needed to improve the score. Good measurements usually start with the core competencies of the organization. By focusing on core competencies, you are measuring the strategic areas that give the organization a competitive foothold in the marketplace.

Typically a set of performance measurements will rely on Key Performance Indicators (KPI's). The best KPI's tend to be simple. Here is an example of KPI's at General Electric:


Performance Area Key Performance Indicator

  1. Profitability Residual Income
  2. Productivity Output
  3. Human Resources Number of Promotable Employees
  4. Market Position Market Share

As you can see from this example, the primary drivers behind performance are very visible within the performance measurement system. Areas that are selected for measurement are critical to the business. Therefore, the best place to start in the design of an Integrated Performance Measurement System (IPMS) is by simply understanding how the organization works. Based on this understanding, strategic themes emerge to help you identify what areas of the business should be measured. The objective behind the design phase of the IPMS is to come up with a set of KPI's that are both measurable and reportable.

The design phase of the IPMS should be both top-down and bottom-up. The top view is needed to help ensure that design is based on major strategic issues confronting the organization. The bottom-up view is needed since you need to identify barriers and issues that must be resolved for implementation of the IPMS. The preliminary design of the IPMS will often consist of eight steps:

  1. Executive Management buy-in and support for the IPMS.
  2. Forming the Design and Implementation Team(s).
  3. Developing a clear and concise set of strategies.
  4. Drafting a prototype model for testing and refinement of the IPMS.
  5. Defining the Critical Success Factors or Areas that need to be measured.
  6. Defining the Key Performance Indicators that will serve as the measurements.
  7. Finalize the Prototype Model.
  8. Develop a plan for full implementation.

The biggest reason behind failure of a performance measurement system is lack of senior management support. In order to gain management support, an "ABO" approach is sometimes useful:

Awareness : Management shows an interest in the project, learns more, and becomes passively involved.

Buy-In : Management now seeks more information, they commit time and money to the project, and they openly support the idea behind performance measurement.

Ownership : Management assumes responsibility for success of the project, they recruit people to participate, and they sell others on the idea of performance measurement.


Once you have ABO from upper-level management, you can proceed to Step 2, forming a design and implementation team. Since the IPMS cuts across the entire organization, the team should have representation from areas that will be measured. For example, a beverage company has identified marketing and production as critical areas that need to be measured. The design team consists of five key people: Marketing Manager, Sales Manager, Operations Manager, Quality Control Manager, and Chief Financial Officer.


This article has touched on the very basics of trying to get a comprehensive performance measurement system started. A very important aspect with any project like performance measurement is to spend sufficient time with planning and design. One of the biggest mistakes with most projects is to move too quickly into implementation. A good IPMS should evolve through a process of planning and design. And don't forget to prototype test each and every idea within the IPMS. This will save a lot of grief down the road when it comes time to implement.


Sumber :

https://exinfm.com/board/integrated_performance_measurement.htm

Performance Prism (part 1)

Oleh : Yulifiyanto & Haryadi Sarjono

Performance Prism adalah pengukuran kinerja inovatif dan kerangka manajemen kinerja. Kelebihannya dari kerangka kerja yang lainnya adalah bahwa Performance Prism meliputi semua stakeholder organisasi atau perusahaan. Secara prinsip stakeholder tersebut meliputi investor, pelanggan, karyawan, supplier dan masyarakat. Performance Prism bekerja dengan dua cara yaitu menganggap bahwa keinginan dan kebutuhan adalah milik para stakeholder, dan secara khusus apa yang organisasi inginkan dan butuhkan dari para stakeholder (Neely dan Adams, 2000) dalam text book Quitt (2010). Dengan cara ini, hubungan timbal balik dengan tiap-tiap stakeholder dapat diteliti.


Beberapa sisi performance Prism adalah sebagai berikut:


Stakeholder Satisfaction (Kepuasan Pihak Terkait)

Kinerja suatu organisasi dipandang sebagai kemampuan organisasi tersebut memenuhi harapan stakeholder. Sehingga secara logis, indikator kinerja harus disesuaikan dengan harapan para stakeholder tersebut. Perspektif pertama yang mendasari metode Performance Prism adalah perspektif kepuasan stakeholder (stakeholder satisfaction).

Kepuasan stakeholder merupakan perwujudan dari apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh stakeholder dari perusahaan. Perspektif ini didahului dengan menentukan siapa sajakah stakeholder dalam perusahaan dan kemudian menentukan apa sajakah yang diinginkan dan dibutuhkan oleh para stakeholder tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang dipertimbangkan di sini contohnya meliputi konsumen, supplier, tenaga kerja, investor, serta pemerintah dan masyarakat sekitar.

Penting bagi perusahaan untuk berupaya memberikan kepuasan terhadap apa yang diinginkan dan dibutuhkan stakeholder-nya serta melakukan komunikasi yang baik dengan mereka. Memang benar bila dalm kenyataannya tetap ada stakeholder yang lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya, namun hal itu tidak berarti mengabaikan stakeholder yang lainnya.


Stakeholder Contribution (Kontribusi Pihak Terkait)

Dalam metode ini, selain mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan stakeholder perusahaan juga mengidentifikasi kontribusi apa yang dibutuhkan dan diinginkan dari para stakeholder untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Stakeholder contribution merepresentasikan sesuatu yang diberikan oleh stakeholder yang memberikan manfaat untuk perusahaan. Hal ini berkebalikan dengan stakeholder satsifaction yang merepresentasikan keinginan dan kebutuhan yang diharapkan akan dipenuhi oleh perusahaan.

Di satu sisi stakeholder satisfaction dan stakeholder contribution merupakan dua hal berkebalikan, namun di sisi lain kedua hal tersebut juga saling berkaitan. Hal ini menunjukkan sebuah hubungan timbal balik diantara keduanya, dimana perusahaan akan berharap mendapatkan kontribusi dari para stakeholder-nya sebaik para stakeholder-nya mengharapkan keinginan dan kebutuhannya dipenuhi oleh perusahaan.

Organisasi mempunyai misi untuk memenuhi keinginan para stakeholder. Tetapi sebaliknya pula, stakholder juga dituntut untuk mempunyai kontribusi pada organisasi. Sehingga menurut konsep performance prism, kinerja juga dihubungkan dengan kemampuan organisasi untuk memaksimalkan kontribusi stakeholder dalam membantu operasi organisasi.


Sumber :

https://bbs.binus.ac.id/management/2017/08/performance-prism-part-1/

The Performance Prism

The Performance Prism (PP) is referred to by its Cranfield University developers as a ‘second generation’ scorecard and management framework. The distinguishing characteristic of the Performance Prism is that it uses as its starting point all of an organisation’s stakeholders, including investors, customers and intermediaries, employees, suppliers, regulators and communities, rather than strategy. According to PP proponents, strategy should follow from stakeholder analysis. The PP framework also focuses on the reciprocal relationship between the organisation and its stakeholders, as opposed to just stakeholder needs.

There are five ‘facets’ to the Performance Prism which lead to key questions for strategy formulation and measurement design:

  1. Stakeholder Satisfaction: Who are our stakeholders and what do they want and need?
  2. Strategies: What strategies do we need to satisfy these wants and needs?
  3. Processes: What processes do we need to execute these strategies?
  4. Capabilities: What capabilities do we need to operate our processes more effectively and efficiently?
  5. Stakeholder Contribution: What do we want and need from our stakeholders if we are to develop and maintain these capabilities?

The Performance Prism is a management framework that reflects the complexities of organisations and the multiplicity and reciprocity of stakeholder relationships. The comprehensive nature and flexibility of the PP contribute to its applicability in a wide range of organisations.


The Performance Prism

Source: Cranfield School of Management


What benefits does the Performance Prism provide?

The Performance Prism allows organisations to develop strategies, business processes and measures geared to the specific needs of all important stakeholder groups. By taking a broad stakeholder perspective that includes regulators and business communities, the PP enables an organisation to more directly address the risks and opportunities in its business environment. Using the PP to develop measures for each relevant stakeholder facilitates the communication and implementation of strategy.


Questions to consider when Implementing the Performance Prism

Does the complexity of our organisation and our stakeholder groups warrant the use of the Performance Prism?

Which important stakeholders do we need to consider that might be overlooked by another performance management system, such as the Balanced Scorecard?

How well do we understand our business model and our relationship with our important stakeholder groups?


Actions to take / Dos

Start with stakeholders, not with strategies

Understand not only what stakeholders want from you, but what their contribution is to the organisation – such as financing from investors, and talent, energy and commitment from employees

Develop measures specific to the processes and capabilities necessary to meet the needs of each stakeholder


Actions to Avoid / Don'ts

Don’t forget about the interests of regulators and communities

Do not ignore the reciprocal relationship between the organisation and its stakeholders

Never underestimate the importance of capabilities – the people, practices, technology and infrastructure necessary to support key processes

Don’t use the Performance Prism in small or very simple organisations

 

In practice: The Performance Prism


Stakeholder needs at DHL

(Measuring Business Excellence, 2001)

One of the first applications of the Performance Prism took place at DHL International in the UK. Implementation of the PP at DHL was precipitated by board-level frustration at the amount of time spent reviewing operational data without having any real impact on the business or the issues that continued to present themselves.

Development of a ‘success map’ and populating a PP revealed the needs of various stakeholders, in particular the set of customers that had a desire to have a more strategic relationship with DHL, so-called advantage customers. This led to conversations about the processes and capabilities that DHL needed in order to meet the needs of these important customers.

Once the Prism was constructed, the board was able to step back and ask important questions about how to oversee the business from a more strategic perspective and identify the relevant performance measures for the organisation.


Lessons learned

Implementation of the Performance Prism created a shift in the board review process from scrutinising lots of numbers to having a meaningful conversation about strategic issues and the direction of the company.

The more strategic discussions stimulated by the PP created an emphasis on working together on issues rather than on individual functional responsibilities.


Sumber :

https://www.cgma.org/resources/tools/essential-tools/performance-prism.html

There Are Infinite Ways to Solve Your Business Problems

Continuous Improvement

 By Jeff Gothelf


There Are Infinite Ways to Solve Your Business Problems. Which One Is Right?

It’s easy to think we know how to solve the current problem our team, product or business is facing. We have experience and expertise in our domain. We’ve seen what the competition is doing and feel we know exactly how to offer a competitive solution that will set us up for market success. We instruct our teams to build the solution we have in mind and wait for happy customers to roll in, moving our charts and graphs up and to the right. 


The team works for multiple weeks, sometimes months. And we launch, fingers crossed, looking daily (sometimes hourly) to see if our predictions were correct. But the customers don’t come at the level we predicted, and the numbers don’t move quite in the directions we’d hoped. 


Why does this happen? And, perhaps more importantly, could this have been avoided? Let’s take a look. 


If you step back to a high level, there are basically two ways to solve a problem:


METHOD 1: WE IMPLEMENT THE HIPPO (THE HIGHEST PAID PERSON’S OPINION)

This is the default method of working in many organizations. Whoever has the biggest job title gets to dictate their solution to the team. The team builds the best version of that idea and ships it leaving the entirety of their success dependent on one person’s point of view. This happens mostly in organizations who have not fully moved into agile ways of working and who lack psychological safety. 


While someone who has ascended to a position of leadership, in most cases, has the experience and expertise to back up their points of view, the reality is that they are just as likely to be wrong as anyone else. Why? Because there is an infinite combination of code, copy, design, business model, and value proposition you could put together to solve the business problem you’re currently facing. In addition, one blanket solution for all of your users often ignores the nuances of context of use and meaningful differences between different segments of your target audience (or as my friend Jeff Patton likes to put it, “the differences that make a difference.”) 


Let’s take a look at an example. Let’s assume your job is to transport school age kids safely, quickly and economically from one place to another. How would you do it? Immediately, I can think of at least 3 options to solve this problem:


SOLUTION 1: SCHOOL BUS

In the United States this is often the default solution to the problem. Kids board the bus and it takes an entire group from one place to another. In suburban settings where there are fewer sidewalks and distances are greater this solution can make a lot of sense.  


SOLUTION 2: A LINE OF (SOMETIMES TETHERED) KIDS WALKING TOGETHER

In urban settings many kids can walk from school to another location as a group. However, in some cases the kids are too young to be able to make it there safely and consistently on their own. In this case, kids are often lined up and walk together from place to place. This keeps the group together, ensures they are all accounted for and eliminates the need for a vehicle, driver, insurance etc. In some cases, these kids will be attached to (or asked to hold) a tether or rope of some kind to ensure the group stays complete and pointed in the same direction. 

SOLUTION 3: TRANSPORT KIDS IN CARGO BIKES

There are some places in the world where biking is the preferred mode of transportation. These cities (usually) have been converted to accommodate all kinds of bikes performing all kinds of functions. In this context piling a few kids into the container of a cargo bike is acceptable and, in fact, promoted. It’s efficient, good for the environment, safe and exercise for the person turning the pedals. 


So which of these solutions is the right one? Are these the only 3 options available to us? 


In a situation where we are implementing the HIPPO we don’t get a say in it. We have to go with the top-down directive we were provided. As a team we could work to optimize it to the best of our abilities to the context of use but if the boss wants to implement a fleet of large school buses in a bike-friendly city like Copenhagen or Amsterdam, that’s what we’ll work towards regardless of the context of use or the needs of our target audience. 


METHOD 2: EMPATHY, EXPERIMENTATION, LEARNING, AGILITY

Instead of trying to guess what the best combination of features, value proposition and business model is going to make our customers successful we start with understanding them, their needs and their context of use for our products and services. Where do they live? How much money do they make? How far do they have to travel between places? What’s the public infrastructure like in those places? What are the current commonly accepted ways to travel and transport in their city or country? These are the questions a truly agile team would start with. 


The team would then go observe these folks getting their kids from place to place. They’d identify where the infrastructure supports their needs and where it has gaps. The team would speak with parents and teachers who have to go through this process daily. Using those findings the team would come up with some hypotheses — testable ideas that might help our target audience be more successful. Without investing too heavily in these ideas the team would build experiments to see if there is merit to any of these hypotheses. Those that don’t meet our success thresholds — in other words, those that don’t make our customers more successful — are discarded while the team pursues the ideas that resonated more effectively.


As the chosen solution is scaled up new feedback and insight comes in forcing the team to further adjust their solution. This process of shipping, sensing and responding continues for the life of the service the team has built ensuring that, as the customer behavior and expectations evolve, the system is optimized along with them.


SOLUTIONS ARE INFINITE. PROBLEMS ARE UNIQUE.

It’s easy to fall into a specific solution quickly. We saw it somewhere before. It worked in another context. Another company built it up into a multi-billion dollar business. It’s more difficult to remember that the context in which that solution was implemented, the way it was launched, the audience it targeted, the timing of its launch and many other factors may have contributed to its success. The pace of change is far too fast these days to assume that just because it worked (or didn’t) in the past it will do so again now. Every day we have new ways to solve the same problems we’ve been solving for our customers for years. 


Focus on the problem. Focus on your users and customers. Get to know them and their goals. Work to build and fund a culture that enables, empowers and encourages teams to explore options to find that winning combination. Your customers will be more successful and so will you.


Sumber :

https://www.linkedin.com/pulse/infinite-ways-solve-your-business-problems-which-one-right-gothelf-1c/

Tuesday, September 29, 2020

Implementasi Lean Manufacturing

Oleh : Adi N.


Sebagai overview saja, berikut ini gambaran global sistem manufacturing disain.

Sistem manufacturing ini didisain secara integrated, terdiri dari 6 modul utama dan 1 modul juklak secara umum. Modul tersebut meliputi disain manufakturing, maintenance systems, organisasi area kerja, lingkungan dan keterlibatan karyawan, elemen quality, pergerakan material, dan petunjuk umum. Sistem audit yang dilakukan untuk mengontrol implementasi dilakukan dengan interval waktu tertentu. Proses audit hampir mirip dengan audit proses, dan cukup berbeda dengan audit quality system.

Kontrol terhadap performance dilihat dari pencapaian target yang bisa ditrace pada catatan metrik. Catatan, audit adalah kontrol terhadap implementasi sistem. Di luar itu, perlu didevelop strategic planning untuk membuat seluruh aktivitas tersebut terimplementasi secara keseluruhan. Strategic planning dilakukan secara top down force dan melakukan breakdown sekecil mungkin. Untuk melakukan budaya perbaikan, maka perlu dibentuk pula policy dari organisasi (company) agar membuat sistem bottom up dengan mekanisme yang terkontrol sehingga tidak melenceng dari strategic planning dan goal tersebut.

Definitely, keberhasilan dalam mencapai Lean Manufacturing tersebut sangat tergantung dari leadership, knowledge dan konsistensi kontrol terhadap performance.

Secara umum, apa yang disampaikan di atas adalah main body dari Lean Mfg. Sistem ini didisain terintegrasi sehingga setiap item yang tidak terkait langsung dengan mfg tetap dimasukkan karena sebagai faktor pendukung untuk membentuk lean enterprise. Sistem ini terdiri dari 7 bagian yakni:

  1. Flow Manufacturing System Design
  2. Employe Environment and Involvement
  3. Workplace Organization
  4. Operational Avalaibility
  5. Material Movement
  6. Quality
  7. Implementation Guide

Ketujuh item di atas tidak bisa dipisah satu sama lain, interdependent element. Pembagian tersebut adalah untuk memudahkan pelaksanaan. Sebagai contoh pada disain proses manufacturing harus sudah memperhitungkan semua aspek non teknis engineering seperti efisiensi budget, ergonomis, training, visual kontrol, dan lain sebagainya. Berikut ini overview dari masing-masing item.


Flow Manufacturing System Design

Sesuai namanya, sistem ini didisain untuk membentuk disain manufacturing dengan flow base. Konsepnya ada di process flow. Perhitungan dimulai dari permintaan jumlah barang dari customer Disain cycle time diperoleh dengan menentukan kecepatan produksi yang lebih cepat dari kecepatan konsumsi customer.

Besarnya kecepatan ini tergantung dari perkiraan permintaan selama setahun, fluktuasi, policy dan kemampuan tools dan equipment dan terakhir adalah budget. Hasil dari disain ini antara lain proses flow, lay out, manufacturing sequence, disain pull system, disain pergerakan material, ergonomis, inventory, jumlah resources, skedul proyek, jumlah kebutuhan tools dan equipment, pemilihan mesin, metode kerja, value stream, danperhitungan finansial. Secara umum, disaini inilah yang dianggap sebagai core dari manufacturing system.


Employee Environment & Involvement

Sistem ini berkaitan dengan seluruh human resources. Sub-sub elemennya antara lain adalah Belief & Value yang berkaitan dengan visi dan misi perusahaan, Multiple Skill, Suggestion System, Natural Workgroup (sejenis QCC), Training, Health & Safety, Standard Manufacturing Leadership dan lain-lain. BV berkaitan dengan konsep moral, training & multiple skill berkaitan dengan kompetensi, NWG atau QCC dan SS berkaitan dengan keterlibatan karyawan terhadap kebijakan perusahaan dan improvement, H&S saya pikir no issue, dan SML berkaitan dengan kontrol terhadap resource performance serta pelaksanaan target dan kebijakan perusahaan.


Workplace Organization

Yakni organisasi area kerja, lebih terkait kepada pembentukan sikap dan moral dan kontrol terhadap proses produksi yang kondusif. Organisasi ini lebih dikenal dalam bentuk 5S, tetapi di kami istilahnya terjemahan dalam bahasa Inggris. Sub element lainnya adalah andon system, addressing system, organisasi area kerja di office, dan sistem komunikasi perusahaan.


Operational Availability

Item ini berkaitan dengan planned maintenance systems, yakni kontrol terhadap peralatan, quick response, change over dan performance machine secara keseluruhan. Selain itu juga didevelop sistem dimana keterlibatan karyawan produksi dalam melakukan maintenance peralatan.


Material Movement

Lebih detail mengenai sistem pull, levelling schedule, build to plan, production planning, warehouse, pergerakan material, sistem supply material ke area produksi, plan for every part, visual control untuk mengatur storage, common lot theory untuk meminimasi part built up di antara proses produksi/operasi. Item ini termasuk yang mengambil porsi sistem cukup besar selain disain manufacturing.


Implementation Guide

Implementation Guide ini lebih banyak berisi tentang petunjuk pelaksanaan untuk mendevelop strategic planning. Site plan dijadikan sebagai master pelaksanaan yang didasarkan kepada objektif perusahaan. Seluruh strategic planning bisa didevelop berdasarkan perkembangan bisnis, policy dan target-target spesifik perusahaan.

Value stream management & audit digunakan sebagai alat untuk melakukan proses kontrol. Selain itu, ditentukan scientific methodlogy untuk melakukan innovation & continuous improvement. Dalam contoh aktual adalah penggunaan Suggestion System untuk improvement perorangan,

Natural Workgroup yang dibekali dengan 8 Step 7 Tools untuk improvement kelompok, dan 6 Sigma sebagai alat improvement dan innovation. Secara strategis, value stream dibagi ke beberapa bagian sesuai dengan jenis project/business, dan ketiga hal di atas berada dibawah payung value stream untuk mencapai lean manufacturing.


Value stream & audit dikontrol secara periodik oleh manajemen.

Sejatinya, informasi di atas menggambarkan overview saja. Sebagai tambahan, untuk proses auditnya tidak seperti quality sistem audit, tetapi menggunakan merit system sehingga grade sebagai tolok ukur.

Besarnya target grade ditentukan oleh company. Misalnya target grade 3.5.

Tuesday, September 22, 2020

KONSEP BALANCED SCORECARD

DASHBOARD MANAGEMENT DALAM KONSEP BALANCED SCORECARD

Di dalam konsep balanced scorecard, dijelaskan bahwa balanced scorecard menyelaraskan antara visi, misi dan strategi perusahaan dengan aktivitas bisnis di dalam perusahaan. Konsep balanced scorecard yang diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton, juga menjelaskan bahwa komunikasi antara ekternal dan internal perusahaan harus berjalan selaras. Balanced scorecard juga dapat digunakan sebagai performance monitor dalam sebuah perusahaan.

Tujuan utama dari balanced scorecard adalah menyeimbangkan antara dua faktor sebab dan akibat. Maksud dari tujuan ini adalah menyeimbangkan antara apa yang dilakukan internal perusahaan untuk mencapai hasil yang diharapkan baik dari segi keuangan (Financial) maupun hal lainnya seperti loyalitas pelanggan (Customer). 

Dari konsep balanced scorecard, visi, misi dan strategi perusahaan diterjemahkan ke dalam perspektif-perspektif financial, customer, internal business process dan learning and growth atau organizational capacity. Perspektif-perspektif ini kemudian digambarkan ke dalam peta strategi.

Peta strategi ini akan berisi mengenai sasaran-sasaran yang ada beserta pengukurannya menggunakan Key Performance Indicator (KPI). Dibawah ini merupakan contoh dari peta strategi beserta dengan pengukuran KPI untuk setiap strategy objective-nya.

Pada saat perusahaan akan melakukan review balanced scorecard, maka dibutuhkan banyak file peta strategi untuk perusahaan tersebut. Dari peta-peta strategi dari seluruh bagian di dalam perusahaan akan diturunkan menjadi Individual Scorecard atau ISC. ISC ini dapat menjadi penilaian per individu di dalam perusahaan. Masalah yang timbul dari dalam perusahaan adalah dengan jumlah pegawai yang banyak dan diperlukannya penilaian individu bagi setiap orang. Dalam melakukan perhitungan nilai-nilai dari setiap KPI tersebut akan memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan pengecekan dan perhitungan untuk setiap individu. Salah satu cara untuk menangani permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan dashboard management.

Dashboard management pada dasarnya adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk membantu memantau performa perusahaan di tingkat korporasi, departemen atau divisi dan kepada setiap individu.

Dengan adanya otomatisasi dari balanced scorecard, diharapkan penggunaan konsep balanced scorecard dapat menjadi lebih maksimal. Selain itu kehandalan dari dan konsistensi dashboard management harus dapat diandalkan karena menyangkut nilai performa perusahaan yang kompleks.

Fungsi-fungsi yang sebaiknya dimiliki oleh software dashboard management adalah pertama, kemampuan sistem telusur. Kemampuan ini diperlukan untuk mencari tahu penyebab bagus atau buruknya sebuah KPI. Dengan kemampuan untuk menelusur, perusahaan dapat lebih terkendali dalam control internal di dalam perusahaan. Kedua adalah kemampuan untuk mengeluarkan informasi yang akurat dan bisa dipercaya. Software atau alat ini harus dapat memberikan informasi yang informatif dan mampu memberikan kejelasan dan keakuratan informasi. Hal ini penting karena pimpinan perusahaan akan menggunakan informasi ini untuk menentukan strategi apa yang digunakan untuk mengahdapai kondisi yang ada. Ketiga, alat ini harus dapat menampilkan data secara realtime dan terupdate pada saat terjadinya perubahan. Kemudian dapat memberikan peringatan kepada pengguna bila pencapaian sudah tidak sesuai dengan target yang ditetapkan.

Dengan adanya dashboard management software, maka diharapkan pengambil keputusan strategis dapat membuat keputusan secara tepat dan cepat. Hal ini didasarkan kepada data-data yang akurat dan terpusat. Data-data actual dan terupdate dapat diakses langsung dan mendukung lancarnya aliran informasi di dalam perusahaan.


Sumber :

http://ccg.co.id/blog/2018/02/21/konsep-balanced-scorecard-2/

METODE PENGUKURAN KINERJA

Menurut Wibowo (2008), kinerja memiliki pengertian yang berasal dari kata performance. Pengertian dari performance yaitu hasil kerja ataupun prestasi kerja. Namun, kinerja sesungguhnya memiliki pengerian yang lebih luas, tidak hanya hasil kerja, tetapi juga bagaimana suatu proses kerja berlangsung hingga memberikan suatu hasil. Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2008) pun menyatakan pendapata bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Kinerja memiliki dua dimensi, yaitu (i) indicator yang berkaitan dengan pertumbuhan dalam bisnis yang ada dan (ii) indicator yang berkaitan dengan posisi perusahaan di masa akan datang.

Pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian peningkatan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya oleh perusahaan. Stefan Tangen dalam Engelbert Christian (2010) menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sekumpulan ukuran kinerja yang menyediakan perusahaan dengan informasi yang berguna sehingga membantu mengelola, mengontrol, merencanakan dan melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. Berikut ini terdapat beberapa metode pengukuran kinerja.


1. Balanced Scorecard (BSC)

Balanced Scorecard dikembangkan oleh Kaplan (1992) dan Norton (1996) dengan berpandangan kepada empat perspektif., yaitu : (i) perspectif keuangan, (ii) perspektif pelanggan, (iii) perspektif internal, dan (iv) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. BSC bukan merupakan daftar pengukuran statis, melainkan sebuah kerangka logis untuk melaksanakan dan menyelaraskan program-program yang berfokus pada strategi. Scorecard menerjemahkan visi dan strategi unit bisnis ke dalam tujuan dan ukuran di empat perspektif yang berbeda.


2. Performance Pyramid System (PPS)

PPS adalah sebuah sistem yang saling terkait dari variable kinerja yang berbeda, yang dikontrol pada tingkat organisasi yang berbeda. Tujuan dari kinerja piramida adalah link suatu strategi organisasi dengan operasi-operasi dengan menerjemahkan tujuan-tujuan dari atas ke bawah (prioritas pelanggan) dan pengukuran dari bawah ke atas. Pengukuran kinerja ini mencakup empat tingkat tujuan yang membahas efektivitas organisasi eksternal (sisi kiri piramida) dan efisiensi internal (sisi kanan piramida).

Lynch dan Cross (1992) menyatakan bahwa kinerja piramida berguna untuk menggambarkan bagaimana tujuan dikomunikasikan sampai ke tingkat operasional dan bagaimana langkah-langkah yang disampaikan kembali ke tingkat yang lebih tinggi. Kekuatan utama PPS adalah usahanya untuk mengintergrasikan tujuan-tujuan perusahaan dengan indokator kinerja operasional. Namun, pendekatan ini tidak menyediakan mekanisme untuk mengidentifikasi indicator kinerja kunci dan juga tidak secara eksplisit mengintegrasikan konsep perbaikan terus-menerus.


3. The Tableau de Bord (TdB)

Metode ini pertama kali dikembangkan oleh para insinyur yang sedang mencari cara untuk meningkatkan proses produksi mereka dengan pemahaman yang lebih baik. Metode ini pertama kali diperkenalkan di Perancis pada tahun 1930-an. Menurut Epstein dan Manzoni, tujuan awal ini yang memberikan manajer uraian dan parameter kunci untuk mendukung pengambilan keputusan yang memiliki dua implikasi penting. Pertama, TdB tidak dapat menjadi dokumen tunggal yang berlaku sama baik untuk seluruh perusahaan karena setiap sub-unit memiliki tanggung jawab dan objektif yang berbeda. Ini menyebabkan harus adanya TdB untuk setiap sub-unit. Kedua, berbagai TdBs yang digunakan dalam perusahaan tidak boleh terbatas pada indikator-indikator keuangan.

Kelemahan terbesar yang mungkin berasal dari TdB adalah struktur yang tidak terdefinisikan. Hal ini dikarenakan kurangnya daerah kerja yang ditetapkan. Risiko yang dapat terjadi yaitu manajer melaksanakan TdB dengan seperangkat indikator kinerja yang tidak seimbang dalam hal keuangan dan non-keuangan, lead dan lag, strategis dan operasional dan terkait dengan efektivitas dan efisiensi.


4.  Productivity Measurement and Enchancement System (ProMES)

ProMES dikembangkan oleh Pritchard pada awalnya. ProMES didasarkan pada teori perilaku kerja. Dalam teori ini, motivasi dipandang sebagai suatu proses alokasi sumber daya ke seluruh tindakan dan tugas, dimana sumber daya tersebut adalah waktu dan tenaga seseorang. Pritchard dan kawan-kawannya menyatakan bahwa kekuatan motivasi seseorang adalah hasil dari tindakan, produk, evaluasi, hasil dan terpenuhinya kebutuhan orang tersebut. Sistem ProMES dapat dikembangkan dan diimplementasikan dengan tujuh langkah sebagai berikut :

Membentuk tim desain yang terdiri dari orang-orang yang akan diukur, pengawas dan fasilitator yang mengerti ProMES

Identifikasi tujuan untuk unit.

Mengidetifikasi salah satu ukuran lebih kuantitatif (indikator) untuk setiap tujuan yang ditetapkan.

Menetapkan kemungkinan.

Desain sistem umpan balik.

Menanggapi umpan balik.

Memonitoring proyek dari waktu ke waktu.


Salah satu fitur yang paling menarik dari ProMES adalah pendekatan bottom-up. Namun, pendekatan ini juga memiliki kekurangan yaitu bahwa konsistensi vertikal tidak dapat diterima begitu saja yang dapat mengakibatkan pengukuran kinerja unit bisnis tidak sejalan dengan pengukuran kinerja perusahaan. Kelemahan dari ProMES adalah bahwa indikator tidak harus selalu diimbangi jika tujuan tidak seimbang.


5.  Activity-Based Costing (ABC)

Johnson dan Kaplan telah mengembangkan sebuah pendekatan untuk akuntansi biaya pada tahun 1980-an yang disebut activity-based costing (ABC). Teknik dasar ABC adalah untuk menganalisis biaya tidak langsung dalam perusahaan dan untuk menemukan kegiatan yang menyebabkan biaya-biaya tersebut. Menurut Maskell, beberapa contoh kasus menunjukan bahwa metode ABC dapat digunakan untuk menilai harga produk, pengambilan keputusan produksi, pengurangan biaya overhead dan peningkatan berkesinambungan.


6. Sink and Tuttle

Metode pengukuran kinerja Sink and Tuttle adalah sebuah pendekatan klasik yang menyatakan bahwa kinerja suatu organisasi memiliki keterkaitan yang rumit antar tujuh kriteria kinerja. Ketujuh kriteria kerja tersebut, antara lain :

Efektivitas

Efisiensi

Kualitas

Produktivitas

Kualitas kehidupan kerja

Inovasi

Profitabilitas/ budgetability


7. Theory of Constrains

TOC dikembangkan oleh Goldratt pada pertengahan tahun 1980-an sebagai suatu proses perbaikan yang berkelanjutan. TOC dilakukan dengan cara sebagai berikut :

    Mengidentifikasi kendala sistem

    Memutuskan bagaimana memanfaatkan sistem kendala

    Tidak memprioritaskan segala sesuatu yang lain di atas keputusan.

    Meningkatkan sistem kendala

    Ketika sebuah kendala rusak, kembali ke langkah (1)

    

    Dalam pengukurannya, TOC digunakan untuk menilai kemampuan bisnis suatu organisasi. Pengukuran global metode TOC yaitu laba bersih, ROI dan Cash Flow. Keuntungan dari metode ini yaitu metode ini mudah untuk diakses dan dipahami. Namun, metode TOC dinilai masih kurang lengkap untuk melakukan pengukuran kinerja.

Beberapa metode yang telah dijabarkan di atas merupakan sebagian besar metode pengukuran kinerja yang telah berlaku dan diterapkan sebelumnya. Seiring dengan perkembangan zaman, metod pengukuran kinerja pun dapat terus bekerja. Pada dasarnya, tidak ada metode pengukuran yang dapat dinilai sebagai metode yang paling tepat dan benar. Hal ini dikarenakan setiap perusahaan memiliki focus, ruang lingkup dan lingkungan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, setiap pemimpin perusahaan dapat menggunakan metode pengukuran kinerja yang sesuai dengan perusahaan dan perkembangan zaman.


Sumber :
http://ccg.co.id/blog/2016/05/17/metode-metode-pengukuran-kinerja/

Sunday, September 20, 2020

Teknik Sistem dan Industri

Barometer Dunia Teknik Sistem dan Industri di Indonesia

The focus of industrial engineering is on designing, upgrading, and installing integrated systems that require the role of people, materials, equipment and energy.

Teknik sistem dan industri merupakan gabungan ilmu keteknikan dan ilmu sosial atau manajemen. Di departemen ini, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) akan mempelajari cara merancang, mengelola, dan menerapkan semua elemen industri, seperti manusia, mesin, metode, material, dan lingkungan menjadi sistem yang berkaitan dengan fungsi pabrik. 

Fokus Teknik industri adalah pada perancangan, peningkatan, dan pemasangan sistem terintegrasi yang membutuhkan peran manusia, material, peralatan dan energi.Program Studi Teknik Industri ITS berdiri tahun 1985, sebelum berubah menjadi Departemen Teknik Industri pada tahun 1996. 

Di tingkat nasional, Departemen Teknik Industri ITS telah berhasil memperoleh akreditasi A dari BAN-PT. Sedang secara internasional, Departemen ini juga telah mendapat akreditasi dari AUN QA di tingkat ASEAN dan ABET (Accredited Board of Engineering and Technology) dari Amerika Serikat. Departemen TI ITS menjadi salah satu jurusan teknik industri terbaik di Indonesia. 

Lebih dari 30 staf pengajar dengan berbagai bidang keahlian seperti ergonomi, sistem manufaktur, sustainable manufacture, optimasi, simulasi, data mining, logistik, supply chain, manajemen kualitas dan pengukuran kinerja menjadikan Departemen TI ITS sebagai barometer utama teknik industri di Indonesia.

Iklim internasional sangat terasa di TI ITS. Hal ini karena Departemen ini membuka program sarjana (S1) internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Beberapa peserta kuliah baik sarjana dan pasca sarjana berasal dari berbagai negara seperti Irak, Zimbabwe, Papua Nugini, Thailand dan Myanmar. 

Hal ini membuat mahasiswa dapat terlibat dalam berbagai pengalaman global dan menjadi motor kegiatan internasionalisasi di ITS.Jumlah alumni telah mencapai lebih dari 1000 orang yang tersebar diberbagai sektor industri nasional maupun Internasional. 

Lulusan juga bisa mengambil peran beberapa fungsi di industri seperti divisi spesialisasi teknik industri, divisi produksi, divisi engineering, divisi perencanaan biaya, bahkan divisi HRD. 

Salah satu alumni Departemen Teknik Industri, Fajar Hutomo, ST. MMT kini telah menjadi ketua Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) yang menjadi mesin utama perkembangan industri kreatif di Indonesia.


Sumber :

https://www.its.ac.id/id/kuliah-di-its/fakultas-dan-departemen/fakultas-teknologi-industri/teknik-industri/

Sunday, August 23, 2020

Key Performance Indicators (KPI)


“You can’t improve what you can’t measure”.

Key Performance Indicators (KPI) are vital to understand and improve any process in industrial applications and pretty much everywhere else in day to day life.

Tuesday, August 11, 2020

Just in Time Training

Just in Time Training Is the Future of Learning. Have You Embraced It?

   
Workplace learning methodologies have changed. You can no longer expect your employees to learn everything in advance on the pretext that such learning may be required primarily because jobs these days are pretty demanding.

Now, workers consistently face new problems and challenges which they need to solve urgently. This is where Just in Time Training can help.

This training methodology is an evolutionary response to the demands of a knowledge-driven and speed-oriented marketplace. It emphasizes the value of time.

According to CEB Research, 57% of employees expect learning to be “just in time” rather than earlier. This shows why such learning methodologies are gaining popularity.

So, let’s try to understand the details of Just in Time Training, including why you should care about it and how to implement the training methodology.


What Is Just in Time Training?

The Just in Time Training methodology provides personalized on-demand training according to what a specific situation requires. It uses AI, machine learning, Big Data, and advanced analytics to enhance workforce performance, while significantly reducing errors.

Workers learn all the information they require just when they need it to accomplish a task. With Just in Time Training, your employees can plug knowledge holes fast and prepare themselves for the task at hand in no time.

It works best with the latest technologies like mobile learning whereby learning solutions are distributed to the workers’ mobile devices through a learning management system and a mobile learning app.


Why Is Just in Time Training Important?

Just in Time Training enhances worker productivity. One of the primary goals of the methodology is to provide real-time performance support so that workers can perform their jobs optimally by getting access to tips and solutions just when they need them.

For example, in sales, Just in Time Training is providing sales representatives with the insights, tools, and information needed to more effectively engage with prospects.

According to Forrester, B2B buyers think that 80% of sales representatives add no value and are unsatisfied with their engagements with sellers. This is because buyers expect an individualized purchase process and want solutions that are tailor-made to their unique challenges and priorities.

Just in Time Training can equip your sales representatives with the right content, messaging, and sales strategies to deal with the needs of each buyer.

But you have to remember that your field sales representatives cannot access a large amount of training content when they are in the field.

First, they have to meet as many prospects as possible each day. Second, they only have a few minutes to prepare before each meeting.

So, you have to find a solution to the traveling salesman problem.

You can use a sales territory mapping software that offers advanced route optimization capabilities to help plan 100% accurate routes.

With the most efficient routes available to your sales representatives, they’ll be able to visit more prospects every day. This means they can close more deals and make more money rather than getting stuck in nasty traffic. It will keep your remote salesforce motivated and on task.


Also, with territory mapping software, you can improve fuel efficiency and reduce transportation costs. So, it’s a complete win.

To top it all of, the best sales routing apps also improve market coverage and provide better sales data.

For example, a sales route planner comes with an interactive map that shows where you are performing well and where you are not.

A route planner for sales reps also offers a color-coding feature so you can segment your cold and hot leads by using colors. In this way,  you can focus your resources where they are most needed.

All such data will help you create bite-sized training on the go for your sales representatives that will make them more efficient. They will be better able to deal with the leads and convert them into clients.


There are more reasons why you should go for Just in Time Training, including the following:

Helps create more engaged employees.
Optimizes knowledge retention.
Improves learner access to knowledge.
Makes the learning process faster.
Provides accessible training on the move.


How to Apply Just in Time Training Successfully?

To apply this training methodology, you’ll need to know the sort of information your workers require on the spot.

For example, if you are in the delivery industry and use a route optimization software, you should take advantage of the integrated GPS tracking feature. This will indicate whether your drivers are driving safely as well as their strengths and weaknesses are.

This is all possible as the GPS tracker will show you the real-time location of your drivers and whether anyone in the fleet is speeding, braking harshly, turning too fast or engaging in road rage. You can then immediately communicate to ensure they drive safely. With a commercial GPS tracker, you will also be able to make sure that they are not wasting company time.


Getting all the information you need will help you devise the most suitable training program for your drivers. Just in Time Training is more flexible than regular training programs, recognizing that all your drivers don’t need access to the same information at the same time. It also takes into consideration that some drivers don’t require much training, while others do.

You can have a comprehensive driver training program in place based on the Just in Time Training methodology that tracks the behavior of each of your drivers and then automatically assigns personalized lessons based on the mistakes that they make on the road.

These lessons should follow industry standards and the rules that you have set. Make sure you allow the courses to be taken on any laptop, tablet, or any mobile device.

Below is a quick rundown of the other tactics you can use to apply Just in Time Training at your workplace:

Develop an active learning culture.
Make sure your training materials are easy to understand.
Organize the categories of learning to consolidate your ideas.
Back up every learning module with examples and scenarios.
Create a detailed road map of your training content.
Create a microlearning online resource library.

Final Thoughts
Just in time training allows your workers to access relevant information at a moment’s notice. Though the methodology is still in its infancy, it has already begun to feel like a necessity.


Sumber :
https://blog.route4me.com/2020/08/just-time-training-future-learning-embraced/

Tuesday, July 14, 2020

Manajemen Rekayasa vs Teknik Industri

Sering muncul kerancuan antara jurusan manajemen rekayasa, teknik industri, dan manajemen bisnis. Sebenarnya, ketiganya berbeda lho!

Berbedanya dimana?


Manajemen Rekayasa vs Teknik Industri
Manajemen Rekayasa berfokus untuk menghadapi perubahan dalam lingkungan dan teknologi melalui inovasi produk.
Teknik Industri berfokus untuk merancang sistem yang beroperasi secaea efektif dan efisien.

Manajemen Rekayasa vs Manajemen Bisnis
Manajemen Rekayasa menggunakan ilmu manajemen untuk membantu proses inovasi produk agar dapat dikomersialisasikan.
Manajemen Bisnis berfokus pada isu manajemen dan bisnis secara umum, etika bisnis, komunikasi, dan hukum yang berkaitan.

Manajemen Rekayasa bertugas merancang dan fokus pada:
1. Rancangan produk
2. Riset pasar
3. Rancang proses, bisnis, organisasi
4. Sampai perancangan teknologi yg diperlukan

Manajemen Rekayasa berfokus untuk menghadapi perubahan dalam lingkungan dan teknologi melalui inovasi produk. Manajemen Rekayasa memanfaatkan ilmu manajemen untuk membantu proses inovasi produk agar dapat mencapai tahap komersialisasi
Di sisi lain, Teknik Industri berfokus untuk merancang sistem yang dapat beroperasi secara efektif dan efisien.
Sedangkan Manajemen Bisnis berfokus pada isu manajemen dan bisnis secara umum, etika bisnis, komunikasi, serta hukum yang berkaitan

Peran Manajemen Rekayasa : meneliti kondisi pasar dan kebutuhan konsumen, kemudian mengembangkan konsep produk sesuai kebutuhan
Peran Teknik Industri : merancang sistem produksi produk agar bisa beroperasi secara efektif dan efisien
Peran Manajemen Bisnis : mengelola bisnis agar beroperasi dengan lancar dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan

Manajemen Rekayasa berfokus sebagai inisiator, sedangkan Teknik Industri yang mengefisienkan.


Sumber :
https://www.instagram.com/p/CClgv_MseZ7/?igshid=1ektpfn7av4fj

Saturday, June 13, 2020

Poka Yoke


Poka-yoke merupakan istilah dari bahasa Jepang yang mempunyai tulisan ポカヨケ, yang mempunyai arti "mistake-proofing" atau pemeriksaan kesalahan dan "inadvertent error prevention" atau pencegahan kesalahan yang tidak disengaja.

Poka-yoke merupakan mekanisme dalam proses yang membantu operator peralatan menghindari kesalahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan cacat produk dengan mencegah, mengoreksi, atau menarik perhatian pada kesalahan manusia saat terjadi.

Poka Yoke juga merupakan mekanisme yang sangat berperan dalam proses Lean manufacturing.

Konsep ini diresmikan, dan istilah diadopsi, oleh Shigeo Shingo sebagai bagian dari Sistem Produksi Toyota. Awalnya digambarkan sebagai baka-yoke, tetapi karena ini berarti "pembodohan" (atau "pembodohan idiot"), namanya diubah menjadi poka-yoke yang lebih ringan.

Poka-yoke ala Shigeo Shingo terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Metode Kontak: poka-yoke dilakukan dengan cara menganalisa dan mengindentifikasi bentuk produk, ukuran, warna dan ciri fisik lainnya dari produk.
  2. Metode Nilai-Tetap (fixed-value atau constant number): poka-yoke dilakukan dengan cara memastikan beberapa gerakan dan aktifitas yang perlu dilakukan telah dilakukan dengan baik. Metode ini akan memperingatkan operator jika mereka belum melakukan hal yang diperlukan tersebut.
  3. Metode Tahap-Gerak (sequence): poka-yoke dilakukan dengan memastikan bahwa seluruh proses yang diperlukan telah dijalankan dengan baik.


Tiga Fungsi dasar dari Poka Yoke antara lain :

  1. Control, yaitu pengawasan atau pengontrolan proses untuk mencegah kesalahan atau kerusakan mengalir ke proses berikutnya
  2. Shutdown, yaitu melakukan berhenti melakukan pekerjaan jika terdeteksi kesalahan atau kerusakan
  3. Warning, yaitu memberikan peringatan jika terdapat ketidaknormalan, kesalahan ataupun kerusakan


Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menyiapkan metode Poka Yoke :

  1. Deskripsikan kerusakan atau potensi kerusakan yang akan diselesaikan. Buatkan Ratio atau persentase kerusakan yang terjadi.
  2. Identifikasikan Proses mana yang terjadi kerusakan tersebut.
  3. Tuliskan secara jelas dan rinci langkah kerja pada proses yang akan di analisis.
  4. Perhatikan dengan seksama proses tersebut, apakah ada perbedaan dengan apa yang telah dirinci.
  5. Identifikasikan langkah kerja ataupun kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan / kesalahan kerja seperti lingkungan, alat pengukuran dan peralatan kerja. Pergunakanlah metode penyelesaian masalah 5 WHY (5 mengapa) untuk mendapatkan akar faktor penyebabnya.
  6. Identifikasikan peralatan POKA YOKE yang akan dipakai untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
  7. Lakukan Evaluasi ulang setelah penerapan peralatan POKA YOKE.


Beberapa contoh kasus penerapan POKA YOKE di kehidupan sehari-hari :

  1. Konektor USB Komputer yang tidak dapat dimasukan terbalik
  2. Breaker Listrik akan loncat jika melebihi beban listrik atau terjadi hubungan singkat listrik (Short circuit)
  3. Terdapat Auto Ejaan (Auto Spelling) bahasa dalam Microsoft Word untuk menghindari salah penulisan.
  4. Alarm berbunyi saat mobil parkir mundur.
  5. Pintu Lift tidak bisa dibuka saat Lift bergerak.



Sumber :
https://en.wikipedia.org/wiki/Poka-yoke
https://kanbanize.com/lean-management/improvement/what-is-poka-yoke
http://shiftindonesia.com/poka-yoke-mencegah-terjadinya-kerugian-akibat-cacat-produk/
https://www.dnm.co.id/pengertian-poka-yoke-dan-penerapannya-dalam-produksi/
https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-poka-yoke-dan-penerapannya-dalam-produksi/

Sunday, June 7, 2020

Lean Manufacturing


Belajar Lean Manufacturing: Apa itu “Lean”?

Di dunia manajemen, dikenal beberapa metode yang digunakan untuk melakukan perbaikan operasional organisasi, salah satunya adalah Lean. Popularitas dan hasil impresif yang telah diraih banyak perusahaan di dunia memancing perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk belajar lean manufacturing secara lebih mendalam dan menerapkannya.


Apa itu Lean Manufacturing?

Lean manufacturing adalah sebuah cara berpikir, filosofi, metode dan strategi manajemen untuk meningkatkan efisiensi di lini manufaktur atau produksi. Metode ini diadaptasi dari Toyota Production System (TPS). Tujuan utama lean manufacturing adalah memaksimalkan nilai (value) bagi pelanggan dan meningkatkan profitabilitas perusahaan dengan menghilangkan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (waste).

Implementasi Lean Manufacturing (metode serta tools-nya) dilakukan secara terus-menerus untuk menciptakan perbaikan pada proses dan inovasi di perusahaan, sehingga perusahaan tersebut melakukan apa yang disebut continuous improvement (CI) untuk mencapai operational excellence dan customer intimacy.


Lean manufacturing, atau lean production, adalah metode produksi yang berasal dari model operasi Toyota 1930 "The Toyota Way" (Toyota Production System, TPS). Wawasan yang berkaitan dengan aliran nilai, efisiensi (pengurangan "limbah"), peningkatan berkelanjutan dan produk terstandarisasi kemungkinan besar dapat ditelusuri kembali ke awal umat manusia. Namun, Fredrick Taylor dan Henry Ford mendokumentasikan pengamatan mereka yang berkaitan dengan topik-topik ini, dan Shiego Shingo dan Taiichi Ohno menerapkan pemikiran mereka yang meningkat pada subjek di Toyota pada 1930-an.

Istilah "Lean" diciptakan pada tahun 1988 oleh John Krafcik, dan didefinisikan pada tahun 1996 oleh James Womack dan Daniel Jones yang terdiri dari lima prinsip utama; 'Tepat menentukan nilai oleh produk tertentu, mengidentifikasi aliran nilai untuk setiap produk, membuat aliran nilai tanpa gangguan, biarkan pelanggan menarik nilai dari produsen, dan mengejar kesempurnaan.' (Womack and Jones 1996 p10)

Prinsip lean tersebut tercantum dalam artikel berjudul "Triumph of the Lean Production System" yang dipublikasikan dalam Sloan Management Review.

Metode yang dihasilkan diteliti dari pertengahan abad ke-20 dan dijuluki "Lean" oleh John Krafcik pada tahun 1988, dan kemudian didefinisikan dalam The Machine yang Mengubah Dunia (Womack, Jones dan Roos 1990) dan lebih rinci oleh James Womack dan Daniel Jones dalam Lean Thinking (1996).


Prinsip Lean Manufacturing

Prinsip Lean Manufacturing berbeda dari prinsip perusahaan manufaktur yang umumnya dipakai yaitu hanya berkonsentrasi pada efisiensi dan pemanfaatan sumber daya secara penuh. Namun seperti yang sudah dijelaskan di awal, Lean Manufacturing juga menekankan pada pengurangan persediaan tak terpakai. Ini artinya, konsep ini akan berupaya memangkas persediaan yang bisa mengurangi Harga Pokok Penjualan (HPP).

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Lean Manufacturing setidaknya memiliki 3 prinsip dasar, yaitu nilai produk, menghilangkan pemborosan, dan mengutamakan karyawan.


1. Prinsip Mendefinisikan Nilai Produk (Define Value Principle)

Mendefinisikan nilai suatu produk didasarkan pada pandangan dan perspektif pelanggan. Konsep yang digunakan adalah QCDS (Quality Cost Delivery, Service) + PME (Productivity, Motivation, and Environment). Prinsip ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai yang ada pada seluruh aliran proses, mulai dari pemasok sampai ke pelanggan. Hasil identifikasi tersebut berupa informasi mengenai proses atau elemen apa saja yang tidak memberikan nilai tambah kepada kepuasan pelanggan.


2. Prinsip Menghilangkan Pemborosan (Waste Elimination Principle)

Konsep Lean Manufacturing dalam memandang pemborosan adalah untuk menghilangkan segala aktivitas yang tidak memberikan kontribusi dalam peningkatan nilai produk di mata pelanggan. Setidaknya ada 8 macam pemborosan (waste) yang umumnya terjadi dalam perusahaan manufaktur, yaitu :

Pemborosan Transportasi, yang terdiri dari pemindahan atau pengangkutan yang tidak dibutuhkan seperti perpindahan barang, penempatan sementara, atau penumpukan barang.

Pemborosan Gerakan, yaitu berupa waktu untuk mencari atau bekerja yang tidak efisien dan tidak ergonomis.

Pemborosan Kelebihan Persediaan, yaitu stok yang jumlahnya berlebihan dan justru tidak berguna.

Pemborosan Menunggu, seperti aktivitas menunggu barang untuk datang atau menunggui mesin otomatis yang tengah bekerja yang pada hakikatnya akan membuang waktu.

Pemborosan Kelebihan Produksi, yaitu produk yang melebihi permintaan ataupun lebih awal dari jadwal yang sudah ditetapkan.

Pemborosan Proses Berlebih, yaitu penambahan proses yang sebenarnya tidak diperlukan bagi produksi dan justru menambah biaya produksi.

Pemborosan Defect, yaitu pekerjaan yang dilakukan berulang namun tidak menambah nilai barang tersebut.

Pemborosan Keterampilan, yaitu manajemen tidak memanfaatkan kemampuan staf secara tepat termasuk tidak melibatkan mereka pada proyek improvement perusahaan.



3. Prinsip Mengutamakan Karyawan (Support the Employee)

Lean Manufacturing selayaknya dilakukan oleh karyawan di semua level dalam organisasi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan untuk memahami metode Lean Manufacturing karena karyawanlah yang menjalankan operasional harian produksi.


Lean di Industri Selain Manufaktur

Walaupun terlahir dari industri manufaktur, konsep Lean ternyata dapat juga diterapkan dalam bidang-bidang berbasis pelayanan. Lean dalam bidang pelayanan menyandang prinsip yang sama, yaitu ‘Perbaikan yang Berkesinambungan’ dan ‘Menghilangkan aktifitas non-value-add alias waste. Namun bedanya, prinsip-prinsip ini diterapkan dalam bisnis layanan seperti call center, pelayanan kesehatan, software development, serta jasa profesional lainnya.

Secara konsep, implementasi Lean di industri jasa hampir sama dengan penerapan Lean Enterprise pada industri manufaktur, dan seringkali menggunakan teknik dan ‘alat’ yang sama. Karena itu, dalam bisnis layanan jasa juga terdapat beberapa bentuk pemborosan seperti halnya dalam industri manufaktur, yang dapat menghambat operasional dan merugikan perusahaan. Seperti, pudarnya loyalitas, hilangnya kepercayaan pelanggan, berkurangnya profit, yang akan mempengaruhi image perusahaan di mata umum secara langsung.


Istilah lean juga sering diartikan sebagai kumpulan dari "peralatan" yang membantu untuk mengidentifikasi dan mengurangi pemborosan. Dengan mengurangi pemborosan kualitas produk akan meningkat dan waktu produksi serta biaya produksi akan dapat dikurangi. Contoh "peralatan" dari lean adalah Value Stream Mapping (VSM), Metode 5R, Kanban, serta Poka-yoke.

Hal kedua yang diperkenalkan Toyota yang berhubungan dengan lean adalah meningkatkan aliran atau kelancaran pekerjaan, dengan cara mengurangi ketidakseimbangan yang dikenal dengan istilah "MURA" (bahasa jepang). Teknik untuk memperbaiki aliran ini termasuk leveling produk, sistem "pull" (tarik) dan Heinjuka box.

Baik Lean atau TPS memiliki tujuan yang sama yakni mengurangi biaya dengan mengurangi pemborosan.

Toyota memandang bahwa lean bukan hanya sekadar peralatan, tetapi pengurangan tiga jenis pemborosan yakni "muda" (pekerjaan yang tidak memberi nilai tambah), "muri" (pekerjaan yang berlebihan) dan "mura" (ketidakseimbangan), dengan menemukan masalah secara sistimatik.


Pemahaman yang  Salah Tentang Konsep Lean

Masih banyak yang terjebak dalam mitos dan pemahaman yang salah mengenai Lean. Daftar yang dipaparkan disini bertujuan untuk menekankan pentingnya pemahaman melalui studi dan praktek untuk implementasi Lean yang benar.

Berikut beberapa pemahaman yang salah tentang Lean:

Lean bukanlah tentang “perampingan” atau pengurangan jumlah karyawan. Lean adalah tentang memiliki sumber daya yang tepat, di tempat yang tepat untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dengan kualitas terbaik dan di waktu yang tepat.

Lean bukanlah sekedar kumpulan “perkakas” yang disebut Lean Tools. Lean adalah filosofi yang menghargai setiap orang di dalam organisasi, termasuk pelanggan, pemasok, stakeholder dan karyawan.

Konsep Lean Manufacturing ini banyak dibandingkan dengan manajemen ilmiah abad ke-19, yang telah diperangi oleh gerakan buruh dan dianggap usang pada 1930-an. Akhirnya, lean dikritik karena kurang memiliki metodologi standar, "Lean lebih merupakan budaya daripada metode, dan tidak ada model produksi lean standar."


Sumber :
http://shiftindonesia.com/belajar-lean-manufacturing-apa-itu-lean/
https://en.wikipedia.org/wiki/Lean_manufacturing
https://id.wikipedia.org/wiki/Produksi_ramping

Saturday, June 6, 2020

Eight Pillar of TPM

8 Pilar TPM (Eight Pillar of TPM)

Untuk menerapkan konsep TPM (Total Productive Maintenance) dalam sebuah perusahaan manufakturing, diperlukan pondasi yang kuat dan pilar yang kokoh.

Pondasi TPM adalah 5S, sedangkan pilar utama TPM terdiri dari 8 pilar atau biasanya disebut dengan 8 Pilar TPM (Eight Pillar of Total Productive Maintenance). 8 pilar TPM sebagian besar difokuskan pada pada teknik proaktif dan preventif untuk meningkatkan kehandalan Mesin dan peralatan produksi.


8 Pilar TPM (Eight Pillar of TPM) diantaranya adalah :

1. Autonomous Maintenance /Jishu Hozen
(Perawatan Otonomus)
Autonomous Maintenance atau Jishu Hozen memberikan tanggung jawab perawatan rutin kepada operator seperti pembersihan mesin, pemberian lubrikasi/minyak dan inspeksi mesin. Dengan demikian, operator atau pekerja yang bersangkutan memiliki rasa kepemilikan yang tinggi, meningkatan pengetahuan pekerja terhadap peralatan yang digunakannya. Dengan Pilar Autonomous Maintenance, Mesin atau peralatan produksi dapat dipastikan bersih dan terlubrikasi dengan baik serta dapat mengidentifikasikan potensi kerusakan sebelum terjadinya kerusakan yang lebih parah.

2. Planned Maintenance
(Perawatan Terencana)
Pilar Planned Maintenance menjadwalkan tugas perawatan berdasarkan tingkat rasio kerusakan yang pernah terjadi dan/atau tingkat kerusakan yang diprediksikan. Dengan Planned Maintenance, kita dapat mengurangi kerusakan yang terjadi secara mendadak serta dapat lebih baik mengendalikan tingkat kerusakan komponen.

3. Quality Maintenance
(Perawatan Kualitas)
Pilar Quality Maintenance membahas tentang masalah kualitas dengan memastikan peralatan atau mesin produksi dapat mendeteksi dan mencegah kesalahan selama produksi berlangsung. Dengan kemampuan mendeteksi kesalahan ini, proses produksi menjadi cukup handal dalam menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi pada pertama kalinya. Dengan demikian, tingkat kegagalan produk akan terkendali dan biaya produksi pun menjadi semakin rendah.

4. Focused Improvement / Kobetsu Kaizen
(Perbaikan yang terfokus)
Membentuk kelompok kerja untuk secara proaktif mengidentifikasikan mesin/peralatan kerja yang bermasalah dan memberikan solusi atau usulan-usulan perbaikan. Kelompok kerja dalam melakukan Focused Improvement juga bisa mendapatkan karyawan-karyawan yang bertalenta dalam mendukung kinerja perusahaan untuk mencapai targetnya.

5. Early Equipment Management
(Manajemen Awal pada Peralatan kerja)
Early Equipment Management merupakan pilar TPM yang menggunakan kumpulan pengalaman dari kegiatan perbaikan dan perawatan sebelumnya untuk memastikan mesin baru dapat mencapai kinerja yang optimal. Tujuan dari pilar ini adalah agar mesin atau peralatan produksi baru dapat mencapai kinerja yang optimal pada waktu yang sesingkat-singkatnya.

6. Training dan Education
(Pelatihan dan Pendidikan)
Pilar Training dan Education ini diperlukan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan saat menerapkan TPM (Total Productive Maintenance).  Kurangnya pengetahuan terhadap alat atau mesin yang dipakainya dapat menimbulkan kerusakan pada peralatan tersebut dan menyebabkan rendahnya produktivitas kerja yang akhirnya merugikan perusahaan.

Dengan pelatihan yang cukup, kemampuan operator dapat ditingkatkan sehingga dapat melakukan kegiatan perawatan dasar sedangkan Teknisi dapat dilatih dalam hal meningkatkan kemampuannya untuk melakukan perawatan pencegahan dan kemampuan dalam menganalisis kerusakan mesin atau peralatan kerja. Pelatihan pada level Manajerial juga dapat meningkatkan kemampuan Manajer dalam membimbing dan mendidik tenaga kerjanya (mentoring dan Coaching skills) dalam penerapan TPM.

7. Safety, Health and Environment
(Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan)
Para Pekerja harus dapat bekerja dan mampu menjalankan fungsinya dalam lingkungan yang aman dan sehat. Dalam Pilar ini, Perusahaan diwajibkan untuk menyediakan Lingkungan yang aman dan sehat serta bebas dari kondisi berbahaya. Tujuan Pilar ini adalah mencapai target Tempat kerja yang “Accident Free” (Tempat Kerja yang bebas dari segala kecelakaan).

8. TPM in Administration
(TPM dalam Administrasi)
Pilar selanjutnya dalam TPM adalah menyebarkan konsep TPM ke dalam fungsi Administrasi. Tujuan pilar TPM in Administrasi ini adalah agar semua pihak dalam organisasi (perusahaan) memiliki konsep dan persepsi yang sama termasuk staff administrasi (pembelian, perencanaan dan keuangan).


Sumber :
https://ilmumanajemenindustri.com/8-pilar-tpm-total-productive-maintenance/

Wednesday, May 6, 2020

The Five Process of Project Management

Lima Kelompok Proses Tradisional Dijelaskan

Dalam manajemen proyek secara umum - dan Panduan A untuk Badan Pengetahuan Manajemen Proyek (PMBOK® Guide) secara spesifik - praktik terbaik menentukan serangkaian kelompok proses yang sangat spesifik yang harus dilakukan. Ini disebut sebagai Memulai, Perencanaan, Pelaksana, Pemantauan dan Pengendalian, dan Penutupan. Timbul pertanyaan: masalah apa yang kita coba selesaikan dengan memiliki lima kelompok proses yang berbeda? (Dalam PMBOK® Guide, mereka disebut kelompok proses karena masing-masing berisi atau menampung proses spesifik yang harus dilakukan.) Jawabannya adalah bahwa proses ini memberi kita latar belakang organisasi untuk berhasil merencanakan, melaksanakan, dan mengelola proyek yang dikelola dengan baik . Dengan itu, mari kita lihat masing-masing kelompok proses ini secara bergantian dan temukan mengapa masing-masing sangat penting untuk keberhasilan proyek.


Initiating (Memulai)
Menurut PMI, proses Inisiasi membantu menetapkan visi tentang apa yang harus dicapai. Di sinilah proyek secara resmi disahkan oleh sponsor, ruang lingkup awal ditentukan, dan pemangku kepentingan diidentifikasi. Identifikasi pemangku kepentingan sangat penting di sini karena identifikasi yang benar (dan manajemen selanjutnya) dari para pemangku kepentingan dapat benar-benar membuat atau menghancurkan proyek. Kelompok proses ini dilakukan agar proyek dan program tidak hanya disetujui oleh entitas sponsor, tetapi juga agar proyek selaras dengan tujuan strategis organisasi. Jika ini tidak dilakukan, proyek dapat dimulai dan dilakukan secara sembarangan, tanpa tujuan atau sasaran nyata yang dinyatakan.

Juga harus dicatat bahwa manajemen memilih dan memberi wewenang kepada manajer proyek di sini. Sangat penting untuk mengesahkan dan membentuk PM lebih awal karena manajer proyek sering memiliki akuntabilitas tetapi hanya memiliki sedikit otoritas. Sebenarnya, jika Anda tidak secara resmi mengotorisasi proyek, Anda tidak memiliki proyek.

Dokumen kunci yang dibuat: Piagam Proyek dan Daftar Pemangku Kepentingan.


Planning (Perencanaan)
Elemen penting dari perencanaan adalah menetapkan ruang lingkup total proyek. Sementara itu mungkin tampak seolah-olah itu dicapai dalam Memulai, ruang lingkup (bersama dengan risiko, tonggak, ringkasan dan anggaran) didefinisikan di sana pada tingkat tinggi. Di sini, melalui proses perencanaan yang berulang dan lebih rinci, yang disebut elaborasi progresif, dokumen proyek dikembangkan pada tingkat yang jauh lebih terperinci.

Dalam PMBOK® Guide, PMI mendefinisikan dua puluh empat proses terpisah yang terlibat dalam perencanaan. Sementara tim proyek dapat memutuskan mana yang akan dipilih untuk proyek tertentu, pesannya jelas: gagal merencanakan, berencana gagal. Terlalu banyak organisasi memulai proyek hanya dengan perencanaan sepintas dengan asumsi - satu anggapan - semuanya akan jatuh ke tempatnya. Tetapi terlalu sering, tanpa perencanaan yang nyata atau memadai, kekacauan terjadi.

Konsep penting dalam Perencanaan adalah bahwa tim mampu memikirkan keseluruhan proyek terlebih dahulu. Jadi mereka tidak hanya membuat berbagai rencana tetapi juga mempertimbangkan semua hal yang mungkin salah (risiko) dan bagaimana mereka meresponsnya. (Sebagai catatan, tim juga harus mencari hal-hal tak terduga yang mungkin menguntungkan mereka - disebut peluang - yang dapat mereka manfaatkan). Jenis rencana apa yang dibuat? Pertama dan terutama, rencana manajemen proyek, dokumen yang memandu pelaksanaan proyek. Ini penting karena menjadi dokumen tata kelola utama untuk seluruh proyek.

Tanpa merinci setiap dokumen yang dibuat, daftar pendek akan mencakup:

Dokumen yang mengikat ruang lingkup (apa yang sedang dan tidak kita lakukan);
Dokumen yang mencantumkan persyaratan terperinci;
Dokumen yang memberikan perkiraan biaya dan waktu;
Dokumen yang menyediakan jadwal;
Dokumen yang merencanakan kualitas, komunikasi, risiko, dan pengadaan.

Selanjutnya kami membuat garis dasar untuk ruang lingkup, jadwal dan biaya yang dengannya kami kemudian dapat (dalam Pemantauan dan Pengendalian) melacak kemajuan kami. Dan kami terus merencanakan bagaimana kami akan mengelola dan melibatkan pemangku kepentingan yang sangat penting di sepanjang siklus hidup proyek.

Pandangan sekilas di atas akan mengungkapkan sifat dasar dari apa yang dicapai selama Perencanaan. Itu menciptakan peta jalan Anda, jalan Anda menuju kesuksesan. Anda seharusnya tidak lagi gagal untuk mempersiapkan rencana-rencana ini daripada seorang arsitek yang gagal membuat cetak biru untuk sebuah bangunan. Pada akhir kelompok proses ini, tim harus memiliki ide yang sangat baik tidak hanya dari apa yang mereka tugaskan - apa yang masuk dan keluar dari ruang lingkup - tetapi juga apa yang diperlukan untuk melaksanakan proyek tepat waktu dan -budget.

Dokumen kunci yang dibuat: Rencana Manajemen Proyek, jadwal, daftar risiko


Executing (Mengeksekusi)
Secara alami, hal selanjutnya yang harus dilakukan setelah Perencanaan adalah mengeksekusi, melakukan pekerjaan. Tetapi yang penting di sini adalah bahwa kita sekarang memiliki rencana manajemen proyek yang dapat kita laksanakan. Ini membantu menjaga kita tetap di jalur. Di sinilah tim proyek mulai melakukan pekerjaan menciptakan kiriman sementara manajer proyek mengoordinasikan sumber daya tersebut. Dan jika itu adalah satu-satunya hal yang terjadi, itu mungkin sudah cukup. Tetapi ada beberapa hal lain yang harus terjadi selama eksekusi.

Karena tim proyek sangat penting untuk pelaksanaan yang sukses, orang harus berasumsi bahwa mengembangkan tim penting untuk tujuan itu. Jadi ada asumsi bahwa manajer proyek tidak hanya akan memperoleh dan mengelola tim, tetapi juga mengolahnya dengan melakukan latihan membangun tim. Demikian juga, PM tidak hanya mengelola komunikasi tetapi juga mengelola keterlibatan pemangku kepentingan, memastikan kualitas proyek dan produk dan - jika pengadaan terlibat - mendukung upaya untuk kontrak dengan vendor.

Di bidang Pelaksana inilah sebagian besar anggaran akan dihabiskan dan hasil proyek akan dihasilkan. Dan sepertinya di sini kita akan mulai melihat permintaan perubahan pemangku kepentingan. Sementara tim proyek dapat menerapkan perubahan yang disetujui, hanya papan kontrol perubahan yang dapat menyetujui atau menolak perubahan ini.

Eksekusi proyek dapat berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bertahun-tahun tergantung pada durasinya. Tetapi itu tidak cukup hanya dengan mengeksekusi. Seseorang harus memastikan proyek tetap di jalurnya. Di situlah kelompok proses kami selanjutnya ikut berperan.

Dokumen kunci yang dibuat: Tidak ada. Hanya pembaruan.


Monitoring and Controlling (Monitoring dan Pengendalian)
Sementara kelompok proses lainnya terjadi secara berurutan, Pemantauan dan Pengendalian melayang di atas seluruh proyek dan, terjadi di seluruh proyek dan tidak linier. Apa yang tercakup di dalamnya? Menurut PMBOK® Guide, ini adalah "proses yang diperlukan untuk melacak, meninjau dan mengatur kemajuan dan kinerja proyek; mengidentifikasi area di mana perubahan pada rencana diperlukan; dan memulai perubahan yang sesuai.1" Sebenarnya, Anda tidak dapat menganggap Anda akan selalu sesuai rencana. Bahkan, sepertinya Anda tidak akan melakukannya. Pemantauan dan Pengendalian adalah tempat Anda kembali ke jalur, di mana Anda membandingkan rencana dengan yang sebenarnya, mengukur varians, dan mengambil tindakan korektif.

Beberapa contoh area yang mungkin dikontrol adalah ruang lingkup, biaya, dan jadwal. Ini semua memiliki variasi dalam hal alat dan teknik yang akan Anda gunakan untuk mengendalikan mereka. Tetapi apa yang masing-masing memiliki kesamaan adalah bahwa mereka memiliki garis dasar yang ditentukan dalam perencanaan. Karena kami melacak kemajuan kami terhadap garis dasar ini, Anda tidak perlu mengubahnya sedikit pun. Mereka bisa dibuat. Tetapi seperti yang disebutkan, hanya papan kontrol perubahan yang dapat menyetujui perubahan ini.

Salah satu cara untuk berpikir tentang pemantauan dan pengendalian adalah dengan membayangkan bahwa Anda mengemudi di seluruh negeri sesuai dengan rencana atau peta jalan Anda. Tetapi jika Anda tersesat dan Anda tidak memiliki GPS, Anda akan berhenti, menanyakan arah dan kembali ke jalur, atau mungkin berdasarkan informasi baru, seperti jalan baru yang akan memotong jam perjalanan, Anda akan ubah atau perbarui paket Anda.

Pelajaran yang dipetik di sini adalah bahwa dengan asumsi bahwa Anda akan tetap berada di jalur ajaib hanya karena Anda telah merencanakan untuk menjadi resep untuk kegagalan. Hanya kewaspadaan, pelacakan, dan pelaporan yang konstan yang akan membuat proyek tetap fokus untuk mencapai tujuannya.

Dokumen kunci yang dibuat: Tidak ada. Hanya pembaruan.


Closing (Penutupan)
Dari namanya, seharusnya sudah cukup jelas apa yang terjadi di sini. Anda tidak hanya menutup proyek secara formal tetapi Anda juga mendapatkan sign-off dan penerimaan dari pelanggan. Meskipun ini harus jelas, terlalu sering proyek hanya gagal. Orang-orang berhenti datang ke pertemuan dan semua orang hanya muncul di pertemuan berikutnya. Praktik terbaik menentukan bahwa kekakuan yang diterapkan pada sisa proyek harus diterapkan di sini juga. Manajer proyek harus secara resmi menutup proyek dengan mengarsipkan catatan, mengadakan sesi pelajaran, dan merayakan dan melepaskan tim. Dan pelajaran yang dipetik bersama dengan informasi historis lainnya harus diarsipkan secara terpusat untuk digunakan sebagai masukan bagi proyek-proyek masa depan untuk mencegah penciptaan kembali roda.

Intinya adalah bahwa sementara kelompok proses ini tidak selalu mudah diimplementasikan, tidak melakukannya berarti tim mungkin tidak pernah menyadari manfaat penuh dari proyek mereka yang sangat strategis.

Belajarlah lagi?
Apakah Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang kelompok proses dan praktik terbaik manajemen proyek? Atau nilai sertifikasi PMP? Jika demikian, Project Management Academy® dapat membantu. Telepon atau online untuk mendaftar ke kamp pelatihan persiapan ujian PMP berikutnya di daerah Anda.

Catatan kaki
1. Institut Manajemen Proyek, Panduan untuk Badan Pengetahuan Manajemen Proyek (PMBOK® Guide) - Edisi Keenam, Project Management Institute Inc., 2017, Halaman 23 ^


Sumber :
https://projectmanagementacademy.net/articles/five-traditional-process-groups/
https://www.wikiwand.com/en/Project_management

Sunday, April 5, 2020

Seven (7) Waste


Seven waste (7 waste) atau 7 pemborosan adalah jenis-jenis pemborosan yang terjadi di dalam proses manufaktur ataupun jasa, yakni Transportasi, Inventori, Gerakan, Menunggu, Proses yang berlebihan, Produksi yang berlebihan, Barang rusak.

Di dalam bahasa inggris, dikenal dengan istilah TIMWOOD (Transportation, Inventory, Motion, Waiting, Over-processing, Over-production, Defect). Tujuh pemborosan ini diperkenalkan oleh Taiichi Ono dari Jepang yang bekerja untuk Toyota dan diperkenalkan dalam sistem produksi yang dikenal dengan Toyota production system.

Dilihat dari sudut pandang nilai tambah, maka segala aktivitas yang kita lakukan dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar:
  1. Aktivitas Bernilai Tambah atau dikenal dengan Value-Added Activities (VA)
  2. Aktivitas Tidak Bernilai Tambah atau dikenal dengan Non-Value-Added Activities (NVA)
  3. Aktivitas Tidak Bernilai Tambah tetapi Diperlukan atau dikenal dengan Value Enabler Activities atau Business Non-Value-Added Activities (VE atua BNVA)

Berbeda dengan VA dan NVA, VE relatif jarang dipakai. Secara ringkas, Value Enabler Activities adalah segala aktivitas yang tidak ‘dibayar’ oleh pelanggan tetapi tetap kita lakukan karena faktor risk management, regulasi, kebijakan perusahaan.

Misalnya melakukan pemeriksaan dengan prinsip empat mata (four-eyes principle) atas aplikasi kredit di bank bukanlah aktivitas yang dibutuhkan pelanggan, tetapi regulasi mewajibkan adanya aktivitas ini untuk meminimalkan resiko.

Terdapat 7 Macam Kategori Waste yang sering terjadi dalam industri Manufacturing, diantaranya :


1. Waste of Overproduction (Produksi yang berlebihan)

Waste atau pemborosan yang terjadi karena kelebihan produksi baik yang berbentuk Finished Goods (Barang Jadi) maupun WIP (Barang Setengah Jadi) tetapi tidak ada order / pesan dari Customer. Beberapa Alasan akan adanya Overproduction (kelebihan Produksi) antara lain Waktu Setup Mesin yang lama, Kualitas yang rendah,  atau pemikiran “Just in case” ada yang memerlukannya.

2. Waste of Inventory (Inventori)

Waste atau pemborosan yang terjadi karena Inventory adalah Akumulasi dari Finished Goods (Barang Jadi), WIP (Barang Setengah Jadi) dan Bahan Mentah yang berlebihan di semua tahap produksi sehingga memerlukan tempat penyimpanan, Modal yang besar, orang yang mengawasinya dan pekerjaan dokumentasi (Paparwork).

3. Waste of Defects (Cacat / Kerusakan)

Waste atau Pemborosan yang terjadi karena buruknya kualitas atau adanya kerusakkan (defect) sehingga diperlukan perbaikan. Ini akan menyebabkan biaya tambahan yang berupa biaya tenaga kerja, komponen yang digunakan dalam perbaikan dan biaya-biaya lainnya.

4. Waste of Transportation (Pemindahan/Transportasi)

Waste atau Pemborosan yang terjadi karena tata letak (layout) produksi yang buruk, peng-organisasian tempat kerja yang kurang baik sehingga memerlukan kegiatan pemindahan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Contohnya Letak Gudang yang jauh dari Produksi.

5. Waste of Motion (Gerakan)

Waste atau Pemborosan yang terjadi karena Gerakan –gerakan Pekerja maupun Mesin yang tidak perlu dan tidak memberikan nilai tambah terhadap produk tersebut. Contohnya peletakan komponen yang jauh dari jangkauan operator, sehingga memerlukan gerakan melangkah dari posisi kerjanya untuk mengambil komponen tersebut.

6. Waste of Waiting (Menunggu)

Saat Seseorang atau Mesin tidak melakukan pekerjaan, status tersebut disebut menunggu. Menunggu bisa dikarenakan proses yang tidak seimbang sehingga ada pekerja maupun mesin yang harus mengunggu untuk melakukan pekerjaannya , Adanya kerusakkan Mesin, supply komponen yang terlambat, hilangnya alat kerja ataupun menunggu keputusan atau informasi tertentu.

7. Waste of Overprocessing (Proses yang berlebihan)

Tidak setiap proses bisa memberikan nilai tambah bagi produk yang diproduksi maupun customer. Proses yang tidak memberikan nilai tambah ini merupakan pemborosan atau proses yang berlebihan. Contohnya : proses inspeksi yang berulang kali, proses persetujuan yang harus melewati banyak orang, proses pembersihan. Semua Customer menginginkan produk yang berkualitas, tetapi yang terpenting adalah bukan proses Inspeksi berulang kali yang diperlukan tetapi bagaimana menjamin Kualitas Produk pada saat pembuatannya. Yang harus kita lakukan adalah Carikan Root Cause (akar penyebab) dari suatu permasalahan dan ambilkan tindakan (countermeasure) yang sesuai dengan akar penyebab tersebut.


Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/7_pemborosan
http://shiftindonesia.com/seven-waste-dalam-lean-manufacturing/
https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-7-waste-dalam-lean-manufacturing/

Saturday, April 4, 2020

Lima R (5R atau 5S)

Definisi 5R
5R merupakan suatu filosofi dan suatu cara  mengorganisasikan dan mengelola ruang  kerja dengan menghilangkan pemborosan (waste) dengan suatu program terstruktur  yang secara sistematis menciptakan ruang  kerja (workplace) yang bersih, teratur dan  terawat dengan baik.

Tujuan 5R
Meningkatkan moral karyawan, kebanggaan  dalam pekerjaan mereka serta rasa  kepemilikan dan tanggung jawab mereka.
Meningkatkan produktivitas dengan  melakukan kegiatan menata tempat kerja.

Target 5R
Target utama dari 5R adalah moral dan efisiensi di ruang kerja.

Prinsip 5R
Mencegah pemborosan akibat kesulitan mencari dan  mendapatkan suatu komponen dalam suatu rangkaian  proses produksi dengan cara mendesain ruang kerja  sedemikian rupa sehingga hanya komponen terkait  saja yang ada di ruang kerja tersebut, dan  ditempatkan secara rapi dan teratur sehingga mudah  dicari dan dikembalikan lagi ke tempatnya semula.


RINGKAS
Jepang : Seiri  
Inggris : Sorting
Memisahkan segala sesuatu yang diperlukan  dan menyingkirkan yang tidak diperlukan dari  tempat kerja.

Langkah-Langkah Ringkas
Cek barang di area kerja masing masing.
Tentukan kategori barang yang dibutuhkan dan  tidak dibutuhkan.
Beri label merah utk barang yang tidak  dibutuhkan.
Siapkan tempat untuk membuang barang-barang  yang tidak dibutuhkan.
Secara berkala, buanglah barang barang berlabel  merah ke tempat yang telah disiapkan.


RAPI
Jepang : Seiton
Inggris : Straightening / Setting in order / Stabilize
Menyimpan barang sesuai dengan tempatnya.

Langkah-Langkah Rapi
Rancang metode penempatan barang yang  diperlukan, sehingga mudah didapatkan  kembali saat dibutuhkan.
Tempatkan barang-barang yang diperlukan ke  tempat yang telah dirancang dan disediakan.
Beri label / identifikasi untuk mempermudah  penggunaan maupun pengembalian ke  tempat semula.


RESIK
Jepang : Seiso
Inggris : Sweeping / Shining or cleanliness / Systematic cleaning / Shine
Membersihkan tempat/lingkungan kerja,  mesin/peralatan dan barang-barang agar tidak  terdapat debu dan kotoran.

Langkah-Langkah Resik :
Sediakan sarana kebersihan.
Pembersihan tempat kerja secara berkala.
Peremajaan tempat kerja.
Pelestarian Resik.


RAWAT
Jepang : Seiketsu  
Inggris : Standardizing
Mempertahankan hasil yang telah dicapai  pada 3R sebelumnya dengan membakukannya  (standardisasi).

Langkah-Langkah Rawat :
Tetapkan standar kebersihan, penempatan  dan penataan.
Komunikasikan ke setiap karyawan yang  sedang bekerja di tempat kerja.


RAJIN
Jepang : Shitsuke
Inggris : Sustaining the discipline or self-discipline
Terciptanya kebiasaan pribadi karyawan untuk  menjaga dan meningkatkan apa yang sudah  dicapai.

Langkah-Langkah Rajin :
Tentukan Target bersama.
Komunikasi di lingkungan kerja.
Kesempatan belajar.


Daftar Pustaka:
Osada,Takashi. The 5S’s: Five Keys to a Total Quality Environment,  Jakarta, PPM, 2004.
Tsuchiya, Kazuo & Freddy Soon. 5S - The Practice of Good Housekeeping,  National Productivity Board.

Related Posts