Monday, June 29, 2015

Blue Ocean Strategy

3 Cerita tentang Blue Ocean Strategy


Blue Ocean Strategy, digagas oleh profesor asal Korea, Chan Kim dan rekannya dari Perancis Renee Mauborgne, tema ini hendak mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memenangkan kompetisi bisnis yang kian dinamik.

Blue ocean strategy pada dasarnya merupakan sebuah siasat untuk menaklukan pesaing melalui tawaran fitur produk yang inovatif, dan selama ini diabaikan oleh para pesaing. Fitur produk ini biasanya juga berbeda secara radikal dengan yang selama ini sudah ada di pasar.
Dengan cara seperti diatas, blue ocean mendorong pelakunya untuk memasuki sebuah arena pasar baru yang potensial, dan yang selama ini “dilupakan” oleh para pesaing.

Hal ini tentu berbeda dengan red ocean, dimana semua kompetitor memberikan tawaran fitur produk yang seragam, sama, dan semua saling memperebutkan pasar yang juga sama. Alhasil, yang acap terjadi adalah pertarungan yang berdarah-darah, lantaran arena persaingan diperebutkan oleh para pemain yang menawarkan keseragaman produk dan pendekatan.

Contoh yang paling fenomenal dari dari kisah blue ocean ini misalnya dapat dilihat pada kisah keberhasilan Yamaha dengan skutik Mio-nya. Dulu sebelum motor jenis ini muncul, pasar sepeda motor didominasi oleh jenis konvensional dengan Honda sebagai penguasanya.

Melalui skutik Mio, Yamaha mengintroduksi motor dengan fitur yang berbeda secara radikal dengan produk yang selama ini ada di pasaran. Ia juga segera membidik segmen pasar baru (new market segment) yakni para pelanggan perempuan (female bikers). Dengan pendekatan blue ocean ini, saat itu praktis Yamaha berenang dalam arena pasar baru, yang tidak ada players lain didalamnya. Dengan mudah Yamaha memimpin pasar baru itu, dan itu terus bertahan hingga kini. Keberhasilan ini memang fenomenal, sebab melalui Mio-lah, Yamaha kemudian pelan-pelan merangsek singgasana yang sudah puluhan tahun digenggam sang jawara, Honda.

Contoh blue ocean strategy yang juga legendaris adalah drama kemenangan produk iPod dari Apple yang merebut habis pasar musik digital. Produk iPod ini sungguh inovatif, dan sama sekali berbeda dengan produk sebelumnya, seperti walkman atau CD music player yang dikuasai oleh Sony. Digitalisasi musik adalah fitur kunci dari iPod, selain kemudahan penggunaannya. Dengan segera iPod menguasai pasar baru musik digital, dan jauh meninggalkan Sony yang terpuruk dalam debu keterpurukan dan luka kekalahan.

Contoh lain blue ocean strategy yang tak kalah dramatis tentu saja adalah kisah mendiang mbah Surip dengan lagu Tak Gendong-nya. Ketika arena musik tanah air didominasi oleh musik pop yang mendayu-dayu, ia hadir menawarkan produk dengan fitur yang secara radikal berbeda dengan yang selama ini ada di pasaran : sepotong lagu reggae yang jenaka dalam balutan gaya bohemian. Plus selarik tagline yang amat brilian : I love you full.

Dengan segera ia menjelma menjadi ikon baru, menciptakan new market space, dan dalam arena ini ia dengan mudah menaklukkan pasar.
Kisah Yamaha Mio, iPod, dan mbah Surip adalah sepenggal kisah tentang bagaimana konsep blue ocean strategy dibentangkan dalam kenyataan. Semua kisah ini selalu diawali dengan kejelian melihat potensi pasar yang selama ini diabaikan oleh para kompetitor. Dan kemudian semuanya segera disertai dengan tawaran produk dengan fitur yang unik, inovatif dan berbeda (different) dengan yang selama ini ada di pasar.

Melalui cara itulah, para pelaku blue ocean strategy kemudian bisa menciptakan ruang pasar baru, menjangkau new market demand dan sekaligus membuat kompetisi menjadi tidak relevan. Atau mungkin lebih tepatnya : mereka kemudian bisa meninggalkan para pesaingnya dalam rintihan kekalahan. Mio melesat jauh meninggalkan Honda Beat. iPod membuat produk audio Sony tergeletak sekarat dalam ambang kehancuran. Dan nama mbah Surip tiba-tiba melambung, sebelum akhirnya benar-benar melesat menembus langit tuju bidadari.

Strategi blue ocean tak pelak merupakan salah satu siasat yang barangkali mesti dilakukan manakala sebuah perusahaan hendak terus memenangkan kompetisi bisnis yang kian keras. Sebab dengan inilah, mereka kemudian bisa terus menciptakan produk inovatif yang akan digemari para pelanggannya. Dengan cara ini pula, para pelanggan akan senantiasa bisa jatuh hati dengan beragam produk yang ditawarkan; dan kemudian secara serentak berseru “We love your products full !”

Sumber :
http://strategimanajemen.net/2009/08/10/sepenggal-kisah-tentang-blue-ocean-strategy/#sthash.ueaTsoIG.dpuf

Friday, June 5, 2015

Lean Enterprise


Bangun Kualitas, Manufaktur Wajib Kerja Cerdas!

Di tengah kekacauan ekonomi dunia, nilai ekspor Jepang pada Februari 2015 malah tumbuh di atas perkiraan. Data perdagangan barang Departemen Keuangan Jepang menunjukkan, pada Februari 2015, nilai ekspor Negeri Sakura itu tumbuh 2,4 persen lebih tinggi dari Februari tahun lalu.

Bahkan, ekspor Jepang ke Amerika Serikat menanjak 14 persen dibanding tahun lalu. Kebanyakan komoditinya adalah kendaraan bermotor, peralatan listrik, dan mesin-mesin logam. Jepang semakin mantap menjadi salah satu negara industri manufaktur terbesar di dunia.

Jepang berhasil membangun lean production system yang dipadukan dalam sebuah lean enterprise. Bagaimana menentukan pergerakan perusahaan antara demand dan suppy dengan berbagai model varian produk sesuai permintaan, dengan biaya semurah-murahnya, dan proses produksi yang efisien.

Pada industri manufaktur, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengembangkan manajemen sistem menyeluruh yang di rangkum dalam Toyota Production System (TPS).

Inti lean production ini sebenarnya sederhana. Konsep ini fokus memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menciptakan value atau nilai tinggi bagi konsumen. Dalam praktiknya, industri wajib menghilangkan pemborosan-pemborosan pada proses produksi sehingga kualitas dan nilai produk menjadi lebih baik.

Pada industri manufaktur, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengembangkan manajemen sistem menyeluruh yang di rangkum dalam Toyota Production System (TPS). Sistem ini memasukkan teknik dan metode penyelesaian masalah, kepemimpinan, operasi produksi, kolaborasi supplier, pengembangan proses produksi, serta pelayanan konsumen.

Sebuah lean production harus terbebas dari 3M, yaitu ‘Muda’ atau hal-hal yang mubazir, ‘Mura’ atau hal-hal yang tidak teratur, dan ‘Muri’ atau hal-hal yang berlebihan.

Ryanair, salah satu maskapai asal Irlandia, berhasil memangkas pengeluaran dengan cara mengurangi beban pesawat selama mengudara. Strategi ini berhasil menghemat pemakaian bahan bakar pesawat.

Walau begitu, maskapai low-cost ini tak pernah berkompromi dengan keselamatan penumpang. Selama 20 tahun lebih terbang mengudara, Ryanair tak pernah mengalami kecelakaan berat.

Tak hanya Ryanair. Bahkan, fashion retail asal Spanyol, Zara, juga menggunakan lean production dan lean logistik. Mereka mengganti koleksi desain dan mengantarkannya ke toko hanya dalam dua minggu.

Untuk menekan biaya, Zara juga mengoperasikan kargo yang disewa seminggu sekali dari Bangladesh. Taktik jitu ini terbukti mampu merebut posisi Gap sebagai retailer pakaian terbesar dunia.

Melihat rentetan fakta di atas, industri-industri manufaktur Indonesia harus bergegas membenahi sistem produksi sehingga biaya dapat ditekan tanpa mengurangi kualitas produk. Dengan begitu, harga yang ditawarkan juga mampu bersaing bahkan sampai ke pasar internasional.

Harapannya, efisiensi pengurangan karyawan pun dapat dihindari. Sebaliknya, perusahaan dapat fokus meningkatan kualitas karyawan dan memaksimalkan proses produksi berdasarkan konsep lean enterprise.


Sumber :
http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/29/15214891/Bangun.Kualitas.Manufaktur.Wajib.Kerja.Cerdas.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news

Monozukuri


Rahasia Sukses Jepang Bangun Kekuatan Ekonomi Dunia!

Masyarakat Jepang memiliki filosofi "Monozukuri" yang telah berakar selama satu milenium. Berbekal filosofi ini, Jepang berhasil melahirkan berbagai inovasi sistem teknologi pendukung industri. Apa itu Monozukuri?

Secara etimologis, Monozukuri berasal dari kata "mono" yang berarti produk atau barang dan "zukuri" yang berarti proses pembuatan, penciptaan atau produksi (manufaktur). Namun, secara harfiah, maknanya tak sesederhana itu.

Monozukuri berarti memiliki semangat menciptakan dan memproduksi produk-produk unggul, diimbangi kemampuan untuk terus menyempurnakan proses dan sistem produksi di dalamnya. Filosofi ini menekankan proses produksi yang penuh ketelitian, ketangguhan, dan kesungguhan.

Para pekerja di pasar ikan Tsukiji fish di Tokyo, Jepang sedang melakukan pengecekan produk makanan sebelum mengantarkannya ke pelanggan.


Menghidupkan filosofi Monozukuri

Kualitas suatu produk ditentukan oleh harga, desain, pengaruh merek terhadap konsumen, proses, dan biaya produksi. Namun, lebih dari itu, Monozukuri juga menuntut kinerja maksimal pada proses produksi, baik dari segi biaya, tingkat cacat produk atau defect rate, estimasi waktu produksi, dan pengembangan teknologi pendukung.

Belajar dari sistem produksi massal gaya barat yang montok, berat, dan panjang, Jepang kemudian berhasil menemukan sistem produksi yang lebih kompetitif. Yaitu, komitmen untuk melakukan kontrol terhadap kualitas saat proses produksi sehingga memicu perbaikan produk.

Dalam industri manufaktur otomotif, pemborosan dalam proses produksi bisa ditekan dengan konsep Toyota Production System (TPS) seperti yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Salah satu konsep dalam TPS ini yaitu, efisiensi proses produksi menggunakan pilar just in time (JIT). JIT berarti, PT TMMIN hanya memproduksi sejumlah produk sesuai permintaan dan pada saat produk itu diminta.

Industri manufaktur lain seperti PT Epson Indonesia menerapkan Monozukuri dalam penggunaan teknologi hemat energi, waktu, dan tenaga kerja. Epson juga mengurangi ukuran dan berat produk, menurunkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan memberikan presisi dan akurasi luar biasa.

Konsep Monozukuri juga telah membuat Toraya Confectionary, perusahaan pembuat makanan tradisional khas Jepang, bertahan selama 400 tahun. Padahal, pengelolaannya dilakukan secara turun-temurun.

Prinsip Toraya dalam membuat kue adalah menyenangkan konsumen, bukan hanya keuntungan semata. Mereka beranggapan, jika konsumen senang, omzet pun secara otomatis mengikuti.

Contoh nyata lain adalah keberhasilan Rustono, seorang WNI asal Grobogan Jawa Tengah dalam membangun pabrik tempe di Kyoto, Jepang. Untuk memperoleh izin produksi, dia harus lulus tes laboratorium, bertanggung jawab atas kualitas kandungan bahan produksi, dan mematuhi peraturan daur ulang kemasan. Ini membuktikan, Jepang sangat peduli dengan kualitas dari awal pembuatan sampai akhir penggunaan produk oleh konsumen.

Di Indonesia sendiri, keanekaragaman produk tradisional dan industrinya tak kalah bersaing dengan Jepang. Namun, kelemahan Indonesia adalah kurang bersungguh-sungguh dalam menyulap produk menjadi sesuatu bernilai tinggi.

Padahal, jika diterapkan dengan baik, Monozukuri dapat menghidupkan industri-industri kecil dan menengah di Indonesia. Harapannya, dengan Monozukuri, perekonomian Indonesia pun semakin mantap karena disokong oleh industri-industri yang tumbuh sehat.


Sumber :
http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/28/13262531/Ini.Dia.Rahasia.Sukses.Jepang.Bangun.Kekuatan.Ekonomi.Dunia.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news

Basic Manufacturing Management


Belajar Kerja Sigap untuk Hasil Produksi Maksimal

Pada 1950-an, Eiji Toyoda, Direktur Toyota masa itu, berkelana ke negeri Paman Sam untuk mencari inspirasi. Saat berkunjung ke pabrik Ford, dia terperangah. Ford mampu memproduksi 8.000 mobil per hari. Padahal, Toyota baru bisa menghasilkan total 2.500 mobil.

Tak hanya itu. Eiji juga menemukan ide saat berjalan-jalan ke supermarket di AS. Sepulangnya ke Jepang, dia dan tim suksesnya segera merajut ide-ide tersebut bersama filosofi Jepang, “Monozukuri”

Akhirnya, lahirlah sebuah konsep lean production bergaya Jepang. Konsep yang bertujuan untuk mengeliminasi pemborosan-pemborosan dalam proses produksi itu kemudian dikenal dengan nama Toyota Production System (TPS).

Tak tanggung-tanggung. TPS sukses membawa Toyota berdiri di posisi jawara sebagai “The Biggest Auto Company” versi majalah Forbes pada 2014. Sementara itu, dalam daftar Global 2000 di tahun sama, Toyota berhasill menduduki peringkat ke-12.


Mengawinkan dua budaya

Melihat semangat Jepang menggali ilmu, tak ada salahnya Indonesia turut berguru. TPS berhasil mengikat dua budaya manufaktur bergaya Asia dan Eropa. Mungkin, industri di Indonesia pun nantinya mampu menerapkan TPS bergaya Nusantara di tanah air.

Ada dua pilar utama yang perlu dicermati dalam TPS, yaitu Just in Time (JIT) dan Jidoka. JIT artinya, perusahaan hanya memproduksi jenis produk yang dibutuhkan, ketika dibutuhkan, dan sesuai jumlah kebutuhan.

Dalam JIT harus ada kestabilan jumlah pemesanan produk. Produksi tidak boleh seperti cara kerja roller coaster, tiba-tiba tinggi, lalu seketika rendah.

Pilar kedua adalah konsep Jidoka yang berkaitan erat dengan kualitas produk. Selama proses produksi, harus dipastikan tidak ada produk cacat. Jika kejanggalan atau kesalahan terjadi, proses produksi harus segera dihentikan.

Semua karyawan Toyota harus memiliki pemahaman untuk menghasilkan produk berkualitas baik, tidak membiarkan terjadi cacat produk, atau menghasilkan produk cacat. Hal ini terlihat sederhana, namun sangat sulit diaplikasikan di lapangan.

Terkadang karyawan memilih memecahkan permasalahan sendiri ketimbang melaporkan. Sementara itu, yang lainnya terlalu takut untuk melapor.

Stop, call, and wait. Ketika terjadi masalah, mereka harus terbiasa menghentikan produksi dan memanggilsupervisor-nya.

Selain pola pikir, Toyota pun telah melakukan pencegahan cacat produk dengan melakukan pembedaan desain. Misalnya, Toyota merancang mesin dan komponen khusus yang hanya dapat dipasangkan ke jenis mobil tertentu.


Persiapan matang

Namun, jika berencana menerapkan TPS, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh pelaku industri. Setidaknya empat aktivitas mendasar berikut telah luwes diaplikasikan dalam kehidupan produksi manufaktur sehari-hari.

Empat Basic Manufacturing Management, yaitu

  • 5R yang rinciannya adalah Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin
  • Supervisory role
  • Continuous Kaizen
  • Visual control atau Mieruka


Menurutnya, semua karyawan produksi harus memiliki kebiasaan 5R saat bekerja. Hasilnya, pekerjaan menjadi lebih cepat karena semua alat selalu diletakkan sesuai tempatnya. Karyawan tidak akan menghabiskan banyak waktu mencari saat membutuhkannya.

Urusan keselamatan karyawan kerja pun terjamin. Jalur kerja bersih dari barang-barang yang mungkin bisa menyebabkan kecelakaan.

Selanjutnya, pembagian kerja pimpinan harus jelas agar efektif dan efisien. Selain itu, seluruh karyawan harus memiliki semangat inovasi. Perbaikan selalu dapat dilakukan agar mempermudah pekerjaan.

Terakhir, budaya visual control wajib melekat erat di semua lini. Artinya, semua karyawan di level manapun harus melihat langsung proses produksi. Jika masalah muncul, pengecekan TKP, atau biasa disebut ‘genba’, wajib dilakukan sebelum memutuskan tindakan solutif.



Sumber :
http://edukasi.kompas.com/read/2015/06/03/15143571/Belajar.Kerja.Sigap.untuk.Hasil.Produksi.Maksimal.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news

Filosofi Kaizen


"Kaizen", Filosofi Gelas Setengah Kosong…

Dalam membangun bisnis, memupuk optimisme memang sangat diperlukan. Tapi, jangan lupa, kesempurnaan tidaklah mutlak. Perusahaan beromzet miliaran rupiah pun pasti akan terbentur berbagai masalah. Jadi, perbaikan berkesinambungan atau dalam bahasa Jepang akrab disebut “Kaizen”wajib menjadi agenda tetap mereka.

Kaizen mirip dengan filosofi gelas setengah kosong. Untuk membangun industri, “kekosongan” sangat diperlukan agar pelaku usaha memiliki pola pikir untuk terus mencari inovasi yang belum pernah dilakukan. Dalam penerapannya, pelaku industri wajib sigap mengidentifikasi masalah, jeli menganalisa penyebab, dan kreatif mencari solusinya.

Kaizen lebih bersifat lapangan dan digunakan dalam proyek perbaikan jangka pendek. Artinya, perombakan tidak dilakukan secara massif, tetapi fokus, tepat sasaran, dan membutuhkan hasil cepat.

Sebagai salah satu metode yang sejalan dengan konsep lean production, Kaizen fokus menghilangkan pemborosan-pemborosan dalam proses produksi sehingga kualitas dan nilai produk menjadi lebih baik.

Salah satu contohnya adalah konsep Toyota Production System (TPS). TPS melekatkan Kaizen sebagai fondasinya, dan bahkan diadopsi oleh industri restoran. Perubahan kecil, jika dilakukan secara tepat dan konsisten akan menghasilkan keuntungan di luar perkiraan

Sebuah fasilitas restoran non-profit di New York mulai menerapkan TPS pada 2011 lalu. Setiap hari, restoran sebagai bagian dari ‘Food Bank for New York City’ itu memberi makanan gratis bagi warga yang membutuhkan di West Harlem, NYC.

Awalnya, restoran itu mulai kewalahan karena harus menyajikan sekitar 50.000 makanan setiap bulan. Saking sibuknya, pelanggan harus antre selama 75 menit. Namun, setelah menerapkan TPS, restoran tersebut mampu mengurangi waktu tunggu menjadi hanya 18 menit saja.

Sementara itu, contoh nyata lainnya adalah perjalanan industri kosmetik asal Jepang, Saishunkan Cosmetics, yang melakukan perbaikan pada sistem penjualan dan produksi. Saishunkan memutuskan hanya menjual delapan produk kosmetik saja.

Mereka juga berhenti menelepon pelanggan dalam memasarkan produk. Sekitar 800 staf operator telepon disiapkan untuk memberi pelayanan dan merespon pesanan atau keluhan apapun dari pelanggan dengan cepat. Hasilnya, 70 persen penjualan produk justru berasal dari telepon pelanggan, sedangkan 30 persennya lewat penjualan di situs mereka.

Pada industri kesehatan, Park Nicollet’s Heart and Vascular Center di Minnesota, AS, juga melakukan berbagai perbaikan untuk meningkatkan efisiensi. Setelah tergoda menerapkan prinsip-prinsip lean production dalam TPS, pusat pengobatan jantung itu sukses mengurangi jarak pasien berjalan kaki sebanyak 73 persen dan 30 persen bagi staf.

Dengan jarak lebih pendek, pasien dan staf dapat menghemat banyak waktu dalam proses pengobatan. Selain itu, mereka berhasil menghemat biaya sekitar 400 ribu dollar AS atau setara Rp 5,3 miliar. Biaya pegawai pun dapat ditekan sebesar 140 ribu dollar AS atau Rp 1,86 miliar per bulannya.


Membangun manusia Kaizen

Para konsultan Kaizen mengamini agar dapat menerapkan konsep ini secara maksimal. Komponen manusia di dalamnya harus dibentuk sejak dini.

Namun, SDM berpengalaman yang memiliki kualitas skil tinggi tidak selalu menjadi patokan. Seorang manusia Kaizen harus punya keinginan belajar yang tinggi dan tak kunjung surut. Mereka harus siap menerima kritik dan perubahan ketika dibutuhkan.

Pelaku industri wajib sigap mengidentifikasi masalah, jeli menganalisa penyebab, dan kreatif mencari solusinya. Contohnya ada pada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Hampir 100 persen proses manufaktur di TMMIN dijalankan tenaga ahli asal Indonesia.

Memang, industri otomotif saat ini lebih sering merekrut fresh-graduated. Namun, TMMIN memilih menggodok dan mendidik sendiri SDM mereka agar memiliki pola pikir dan budaya sesuai konsep Toyota.

Dalam membudayaan konsep Kaizen, TMMIN berusaha merangsang inovasi karyawan. Mereka mewajibkan karyawan menulis ide apapun untuk mempermudah pekerjaan mereka.

“Para operator di pabrik Toyota wajib mengumpulkan dua ide dalam satu bulan. Tentu, hal ini kita lakukan secara bertahap. Jika idenya bagus dan aplikatif, perusahaan akan memberikan penghargaan. Harapannya, karyawan terbiasa berfikir dan menerapkan Kaizen dalam pekerjaan sehari-hari,” ucap Yui Hastoro, Technical Director PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) saat ditemui KOMPAS.com di kantornya, Senin (1/6/2015).

Sejatinya, sebuah industri akan tumbuh sehat, jika memiliki sumber daya manusia yang kaya akan ide. Mereka tak hanya kreatif, tapi juga mampu mengidentifikasi masalah sekecil apapun, bertahan dari gempuran masalah itu, dan mampu mencari jalan keluarnya.

Kaizen!


Sumber :
http://edukasi.kompas.com/read/2015/06/05/08000031/.Kaizen.Filosofi.Gelas.Setengah.Kosong.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktkwp

Related Posts