Monday, February 25, 2013

Pemfosilan Pemikiran Barat


sebuah wacana
PEMFOSILAN PEMIKIRAN BARAT
dengan Just-in-Time

PENDAHULUAN
            Seorang pemuda berumur 28 tahun pada tahun 1813 bernama Baron Drais membuat sepeda kayu yang sangat sederhana seperti gambar dibawah ini. Dengan menggunakan sepeda kayu ini, manusia dapat menghemat waktu hampir empat kali lebih cepat daripada berjalan kaki.


gambar 1. sepeda rancangan Baron Drais

Kemudian pada tahun 1872, August Nicolaus Otto seorang ahli mekanik dan Gottlieb Daimler bekerja sama untuk membuat sepeda motor. Dan pada tahun 1885, tetangga dari Daimler, yaitu Karl Benz yang usianya 10 tahun lebih muda, ternyata berhasil menciptakan kendaraan roda tiga yang lebih cepat.



Gambar a) Kendaraan ciptaan Daimler  

b) Kendaraan ciptaan Benz

Diawali persaingan antara Daimler dengan Benz dan kemudian kedua bersatu pada tahun 1890 dan membentuk perusahaan patungan dengan nama Daimler-Benz, yang sekarang bernama Mercedez Benz.
Kemudian banyak sekali bermunculan industri-industri otomotif yang terkenal. Namun kebanyakan mereka masih berkutat di teknologi otomotifnya sendiri. Bisa dikatakan, penyempurnaan masih belum “disentuh”.

PEMIKIRAN BARAT
Tahun 1776, Adam Smith melalui the Wealth of Nation, menyatakan peran pentingnya spesialisasi dalam bekerja. Hal ini juga dibuktikan yaitu apabila seorang pekerja dapat menghasilkan 1000 pin sehari dengan bekerja sendiri, maka apabila 10 orang bekerja sama dengan spesialisasi akan menghasilkan 48.000 pin seharinya (Hicks, 1994).
Sebagai penyegaran, masih ingat tidak, salah satu tokoh Industri yang kita pelajari waktu mendapat mata kuliah Pengantar Teknik Industri, yaitu F. W. Taylor (1895) dengan memunculkan metoda Scientific Management. Seiring dengan semakin pesatnya Industri Barat setelah revolusi industri.

Pemikiran barat saat itu didasari pada oleh budaya barat yang berciri menonjol dalam kompetisi, individualis dan peran rasional otak kiri manusia. Selain itu, juga sebagai pendorong suksesnya penyelaman ruang angkasa mulai tahun 1970 dan komunikasi komputer tahun 1980 adalah industri barat menganut teori Y, yang beranggapan manusia akan bekerja lebih giat dengan adanya motivasi yang cukup sehingga dapat meningkatkan produktivitas.

Layaknya yang kita pelajari dibangku kuliah, dalam melakukan industri, sebelumnya diadakan perancangan dan perencanaan yang rapi meliputi layout, mesin, aliran bahan dan prosedur kerja. Manajemen industri Barat yang rapi ini disebut dengan Design Based Industry. Meskipun rapi namun manajemen Barat ini cenderung kaku karena tidak dirancang untuk mengadaptasi perubahan lingkungan yang mungkin timbul. Kemudian juga ada MRP (Material Requirement Planning), MRP II (Manufacturing Resource Planning) hingga campur tangan komputer melalui CIM (Computer Integrated Manufacturing).

Kemudian sekitar tahun 1910, sistem Ford dengan jalan bahan baku diolah dan dibawa dengan conveyor menjadi suku cadang. Kemudian pada asembly, komponen-komponen tersebut dirakit dengan kecepatan tetap hingga akhirnya menjadi mobil jadi satu persatu.
Kesuksesan industri Barat juga dialami oleh yang lainnya yang juga menggunakan sistem Ford. Namun dibalik kesuksesan tersebut ternyata, banyak PR yang tersisa,diantaranya yaitu produk Barat terkenal mahal, boros, rumit sehingga banyak complain. 

INDUSTRI TIMUR
            Setelah berakhirnya perang dunia II, Jepang menderita kekalahan dengan terpuruknya perekonomian Jepang. Namun dengan motivasi harga diri dan semangat mempertahankan hidup, bangsa Jepang berusaha mengejar ketertinggalan. Sehingga sekitar tahun 1950, Jepang dapat dikatakan telah pulih kembali.
            Dimulai dengan mengundang pakar dari Amerika yaitu J.M Juran dan nama yang tidak begitu asing bagi kita yaitu W. E. Deming, yang ahli dibidang Quality Control sehingga industri Barat mencapai sukses. Kemudian mulai tahun 1952, industri Jepang seperti Nissan, Mitsubishi, Hino dan Isuzu bekerja sama memproduksi kendaraan dibawah lisensi Austin, Rootes, Renault dan Willys. Setelah 8 tahun mampu meniru, kemudian mulai tahun 1960 industri tersebut telah menggunakan 100% komponen lokal.  
            Selama 40 tahun, industri Jepang terutama di bidang otomotif telah merajai dunia, bagaimana hal ini terjadi? Hal tersebut karena Jepang menggunakan manajemen Barat yang tidak digunakan mentah-mentah, tapi pemakaiannya dipoles sesuai dengan budaya Timur asli.
            Misalnya budaya Timur yang senang ngumpul, diterapkan untuk mengatasi kekakuan manajemen Barat, sehingga Design Based Industry-nya Barat, diaplikasikan  oleh industri Jepang dengan melakukan penyempurnaan yang berkesinambungan dengan melibatkan semua orang secara rutin dan terjadwal, yang kemudian disebut dengan Continually-Improved-Based Industry.
            Terdapat beberapa konsep yang menyebabkan industri di Jepang berkembang pesat, diantaranya yaitu;
1.  Prinsip 5 R
Yaitu ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin. Banyak sekali yang memandang sepele hal ini, namun apabila dilaksanakan dengan konsisten dan disiplin akan terasa hasilnya yang menajubkan.
2. KAIZEN
Merupakan filosofi kerja yang diturunkan dari hasil sistem pendidikan dan interaksi sosial Jepang yang mengutamakan keharmonisan dan kegiatan bersama.
3.  Produksi berorientasi Proses
Manajemen ini menggunakan siklus SDCA, Standardize-Do-Chek-Action. Sehingga apabila terdapat kesalahan akan diperbaiki dan diikuti dengan pembuatan standard baru yang semakin lama akan semakin sempurna.
4.  Berbicara dengan Data
Budaya Jepang yang menonjol adalah mengidentifikasi masalah, mengumpulkan, menganalisis data dan penyelesaiannya. Beberapa toolnya yang tidak asing bagi kita adalah seven tool (diagram Pareto, Ishikawa, sebar, histogram, peta kendali, grafik dan formulir pemeriksaan)
            Dan masih banyak lagi konsep Jepang yang diadopsi dari Barat. Salah satu yang lainnya adalah Just-in-Time yang dipopulerkan oleh Toyota. Berikut sekilas mengenai Just-in-Time.

JUST-IN-TIME
            Just-in-Time merupakan suatu sistem produksi dengan menggunakan Pull System, yaitu material dan komponen ditarik dari belakang pabrik ke arah depan hingga menjadi produk jadi. Berbeda dengan sistem Barat yang pada umumnya menganut Push System, yaitu material dan komponen dibuat dan setelah itu dikirim ke tempat proses selanjutnya (terkadang sebelumnya diletakkan di suatu tempat sebagai persediaan), pendorongan ini dilakukan berdasarkan jadwal. 

Sistem produksi Jepang ini, mempunyai filosofi dasar memperkecil kemubaziran (Eliminate of Waste). Bentuk-bentuk kemubaziran tersebut antara lain;
1.  Waktu
    Misalnya ada pekerja yang menganggur, mesin yang menganggur, waktu material handling yang tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, botleneck dan lain-lain.
2.  Material
    Terlalu banyak scrap, banyak terjadi kerusakan, material yang usang, material yang hilang dan lain-lain.
3.  Manajemen
    Terlalu banyak karyawan, mis-informasi antar departemen, overlaping penugasan dan lain-lain.

            Dikarenakan di Jepang, resource sangatlah terbatas, maka prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas perlu ditegakkan. Maka strategi yang dilaksanakan adalah;
1.  Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan
2.  Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan
3.  Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan

Tujuan dari sistem produksi Just-in-Time adalah memproduksi dengan kualitas (Quality) terbaik, ongkos (Cost) termurah dan pengiriman (Delivery) pada saat yang tepat, disingkat QCD. Kiat agar tujuan tersebut dapat berjalan dengan baik adalah;
1.      Pengendalian kuantitas
Dilakukan dengan sistem informasi yang baik, yang disebut dengan Kanban, termasuk dengan suplier dan konsumen yang pasti dan tepat waktu. Sehingga dengan adanya komunikasi yang baik tersebut diharapkan dapat mengurangi inventory order lead time, yang ujung-ujungnya konsep zero inventory dapat tercapai.
2.      Pengendalian kualitas
Untuk mencapai zero defect, maka departemen pengendalian kualitas (QC) ditiadakan, yang ada adalah Quality Assurance, sehingga pekerja diberi kewenangan untuk tidak memberi hasil produk yang tidak baik ke proses selanjutnya.
3.      Memanusiakan manusia
Terdapat tiga cara, dalam melaksanakannya, yaitu, Otonomi, Flexibility dan Creativity. Contoh flexibility adalah memungkinkan pekerja untuk melakukan subtitusi kerja apabila terjadi kejenuhan dalam bekerja. Keuntungan lainnya yang didapat adalah koordinasi yang baik karena setiap karyawan akan mengerti keterkaitan-nya dengan tugas-tugas rekan yang lain. Sehingga dengan demikian akan dimungkinakan munculnya creativity dari karyawan yang dapat disalurkan melalui brainstorming.

Hal Penting dalam Penerapan Just-in-Time di Toyota
1.      ANDON
Ketika operasi berjalan normal, maka lampu akan menyala hijau. Ketika pekerja membutuhkan bantuan karena sesuatu pada line kerja, maka lampu akan menyala kuning. Jika line kerja berhenti dan membutuhkan perbaikan dari masalah maka lampu akan menyala merah.
2.      AUTONOMATION (AUTONOmous operATION)
Otomasi dengan sentuhan manusia atau mentransfer kecerdasan manusia kepada mesin.
3.      BAKA-YOKE (Fool Proofing)
Inovasi harus dibuat dengan peralatan yang dirancang dengan mencegah kesalahan. Konsep tersebut diterjemahkan sebagai berikut;
-        Jika terjadi kesalahan pada pekerja, maka material tidak dapat digunakan dengan tool.
-        Jika material salah, maka mesin tidak akan berjalan.
-        Jika pekerja melakukan kesalahan, maka mesin tidak akan melakukan proses.
-        Jika terdapat langkah yang terlewat, maka proses selanjutnya tidak akan dimulai

Contoh sederhana dari penerapan BAKA-YOKE adalah, apabila kita memasukkan disket terbalik, maka disket tersebut tidak dapat masuk ke dalam CPU.


gambar 2. pemasukan disket yang terbalik

4.      REAL CAUSE
Didalam penyebab dari suatu masalah, penyebab sebenarnya adalah tersembunyi.
5.      VISUAL CONTROL (Management of Sight)
Berkaitan dengan otonomi atau kewenangan pekerja untuk menyatakan produk yang dihasilkan cacat atau tidak.

Beberapa perbedaan Just-in-Time dengan pemikiran Barat yaitu, di industri Barat, digunakan safety stock untuk beberapa tujuan, namun dalam Just-in-Time, idealnya adalah tidak ada buffer stock, sehingga jika terdapat kesalahan, operasi akan berhenti total sehingga dapat diketahui dengan cepat akar kesalahan dan juga semakin cepat pula penyelesaian permasalahan tersebut (Marc J. Schiederjans, 1993).


 
Ilustrasi

Berikut merupakan tulisan dari Kristianto Jahja (KAIZEN Institute) yang menceritakan pengalamannya mengenai penerapan Just-in-Time.

Pada sekitar 1994, saya bertugas di sebuah pabrik komponen di  kota kecil Bissingen (dekat Stutgart) di Jerman, sebuah projek Kaizen dari sebuah jalur produksi yang menghasilkan produk penghapus kaca (wiper). Ini adalah perubahan cara berproduksi  dari aliran produk yang "jumbled"  menjadi aliran produksi  mengikuti konfigurasi "U". Sebelumnya ada berbagai komponen yang  dibuat di mesin-mesin terpisah untuk kemudian dirakit pada satu  jalur. Seperti umumnya industri Jerman yang punya standard bagus, wadah komponen pun harus mengikuti standard, komponen harus ditempatkan ada palet keranjang yang dikenal dengan DB-standard  (Deutsche Bahn, kereta api). Tentu jumlah per batchnya besar  sekali (mungkin lebih dari 2000), akibatnya perakitan akhir  terdapat banyak palet yang menyita tempat kerja. Kami melakukan  bedah proses, di mana mesin-mesin yang saling berhubungan itu dilakukan re-layout diurutkan mengikuti aliran produk.  Konfigurasi aliran itupun diatur dengan bentuk "U", Lima proses  dengan mesin-mesin yang tidak terlampau besar (seperti mesin  punch, press hidraulis, notcher dsb.) digabungkan dalam satu sel  manufaktur. Satu orang karyawan ditugaskan untuk melakukan semua siklus kerja secara berurutan, sehingga dia harus berjalan dari  satu mesin ke mesin berikutnya, dan  produk diselesaikan satu demi satu, langsung sampai jadi (one piece flow). Jelas ini harus  dilakukan dengan sikap berdiri. Dengan cara ini kami menghapuskan  banyak pekerjaan yang tak perlu terutama pada segi material handling dan barang setengah jadi, aliran produk pun menjadi terkendali disesuaikan dengan  kebutuhan/permintaan konsumen. Ini adalah JIT, yang intinya bukan bukan sekadar mengurangi stock  saja, tapi membenahi cara berproduksi (produktivitas per karyawan  meningkat sekitar 48%).


Contoh Production Line U

            Berikut juga merupakan cerita mengenai penerapan Just-in-Time (yang disebut dengan MAN, Material as Needed) pada motor gede Harley Davidson di Amerika  (sutrisno, 2002).

Pukulan balasan dari kemajuan industri Jepang yang mendasari diri dengan filosofi industri Just-In-Time sangat berat dirasakan oleh industri Amerika pada tahun 1980-an. Harley Davidson yang telah memasuki usia 80 tahun, antara tahun 1981-82 menderita rugi demikian parah karena datangnya empat pesaing industri Jepang, yaitu Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki. Kerugian ini akibat dari kekecewaan pelanggan sebelumnya pada produk Harley Davidson yang dianggap terlalu mahal, dan juga pelayanan purna jual yang dikenal tidak memuaskan.  Penerapan JIT membuat perusahaan ini sehat kembali. Antara tahun 1982-86 terjadi perbaikan kinerja, produktivitas karyawan naik 50 %, pengerjaan ulang turun 80 %, biaya garansi turun 46 %. Perusahaan sepeda motor ini mulai untung kembali sejak 1983 (Dilworth, 1989). Pada perusahaan-perusahaan yang lain terjadi pula perubahan yang spektakuler. Perubahan-perubahan tersebut meliputi, average lead time reduction 90%, inventory turun 35 - 79%, change-over time turun 75-94%, harga material yang dibeli turun 6-11%, cost of quality turun 26-63%.

            Masih banyak lagi penggunaan Pull System di berbagai perusahaan, selain Toyota dengan Just-in-Time-nya, perusahaan lain adalah Hewlett Packard dengan Stockless Production-nya, Westinghouse dengan MIPS, Minimum Inventory Production System-nya, atau juga perusahaan lainnya dengan nama Lean Manufacturing dan sebagainya.

SUMMARY
Tujuan dari penggunaan Just-in-Time adalah melakukan perbaikan bersama-sama secara terus-menerus sehingga akan didapatkan pengurangan beberapa macam pemborosan. Jika dibandingkan dengan Push System, maka akan didapatkan pemborosan karena over produksi. Meskipun kemungkinan permintaan yang didapatkan pertama kali sedikit (kelemahan Just-in-Time adalah ketiadaan demand), namun hasil yang didapat adalah pengurangan inventory sekaligus peningkatan kualitas. Less is more.

Referensi:
Philip E Hicks (1994) Industrial Engineering and Management: A New Perspective, Mc Graw Hill, New York
Marc J. Schniederjans (1993) Just in Time Management, Allyn & Bacon
Sutrisno Eddy, ( Tokoh-Tokoh Industri, Intimedia&Ladang Pustaka, Jakarta
Dick Locke (1996)  Global Supply Management, Mc Graw Hill, USA
Dr. Ir. Sutrisno MSME (2002) Industri Manufaktur Amerika, Jepang, Korea & Menggagas Pengembangan Industri & Teknologi Indonesia
Taiichi Ohno (1988) Toyota Production System, Productivity Press, Portland, Oregon
Norman Bodek, Just In Time, Toyota Production System & Lean Manufacturing, http://www.strategosinc.com/just_in_time.htm
William Patrick Hendrickson, Lean Manufacturing (Just in Time), http://members.aol.com/williamfla/jit.htm

Source : http://taufanyanuar.blogspot.com/2012/10/pemfosilan-pemikiran-barat.html

No comments:

Post a Comment

Related Posts