Belajar Kerja Sigap untuk Hasil Produksi Maksimal
Pada 1950-an, Eiji Toyoda, Direktur Toyota masa itu, berkelana ke negeri Paman Sam untuk mencari inspirasi. Saat berkunjung ke pabrik Ford, dia terperangah. Ford mampu memproduksi 8.000 mobil per hari. Padahal, Toyota baru bisa menghasilkan total 2.500 mobil.
Tak hanya itu. Eiji juga menemukan ide saat berjalan-jalan ke supermarket di AS. Sepulangnya ke Jepang, dia dan tim suksesnya segera merajut ide-ide tersebut bersama filosofi Jepang, “Monozukuri”
Akhirnya, lahirlah sebuah konsep lean production bergaya Jepang. Konsep yang bertujuan untuk mengeliminasi pemborosan-pemborosan dalam proses produksi itu kemudian dikenal dengan nama Toyota Production System (TPS).
Tak tanggung-tanggung. TPS sukses membawa Toyota berdiri di posisi jawara sebagai “The Biggest Auto Company” versi majalah Forbes pada 2014. Sementara itu, dalam daftar Global 2000 di tahun sama, Toyota berhasill menduduki peringkat ke-12.
Mengawinkan dua budaya
Melihat semangat Jepang menggali ilmu, tak ada salahnya Indonesia turut berguru. TPS berhasil mengikat dua budaya manufaktur bergaya Asia dan Eropa. Mungkin, industri di Indonesia pun nantinya mampu menerapkan TPS bergaya Nusantara di tanah air.
Ada dua pilar utama yang perlu dicermati dalam TPS, yaitu Just in Time (JIT) dan Jidoka. JIT artinya, perusahaan hanya memproduksi jenis produk yang dibutuhkan, ketika dibutuhkan, dan sesuai jumlah kebutuhan.
Dalam JIT harus ada kestabilan jumlah pemesanan produk. Produksi tidak boleh seperti cara kerja roller coaster, tiba-tiba tinggi, lalu seketika rendah.
Pilar kedua adalah konsep Jidoka yang berkaitan erat dengan kualitas produk. Selama proses produksi, harus dipastikan tidak ada produk cacat. Jika kejanggalan atau kesalahan terjadi, proses produksi harus segera dihentikan.
Semua karyawan Toyota harus memiliki pemahaman untuk menghasilkan produk berkualitas baik, tidak membiarkan terjadi cacat produk, atau menghasilkan produk cacat. Hal ini terlihat sederhana, namun sangat sulit diaplikasikan di lapangan.
Terkadang karyawan memilih memecahkan permasalahan sendiri ketimbang melaporkan. Sementara itu, yang lainnya terlalu takut untuk melapor.
Stop, call, and wait. Ketika terjadi masalah, mereka harus terbiasa menghentikan produksi dan memanggilsupervisor-nya.
Selain pola pikir, Toyota pun telah melakukan pencegahan cacat produk dengan melakukan pembedaan desain. Misalnya, Toyota merancang mesin dan komponen khusus yang hanya dapat dipasangkan ke jenis mobil tertentu.
Persiapan matang
Namun, jika berencana menerapkan TPS, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh pelaku industri. Setidaknya empat aktivitas mendasar berikut telah luwes diaplikasikan dalam kehidupan produksi manufaktur sehari-hari.
Empat Basic Manufacturing Management, yaitu
- 5R yang rinciannya adalah Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin
- Supervisory role
- Continuous Kaizen
- Visual control atau Mieruka
Menurutnya, semua karyawan produksi harus memiliki kebiasaan 5R saat bekerja. Hasilnya, pekerjaan menjadi lebih cepat karena semua alat selalu diletakkan sesuai tempatnya. Karyawan tidak akan menghabiskan banyak waktu mencari saat membutuhkannya.
Urusan keselamatan karyawan kerja pun terjamin. Jalur kerja bersih dari barang-barang yang mungkin bisa menyebabkan kecelakaan.
Selanjutnya, pembagian kerja pimpinan harus jelas agar efektif dan efisien. Selain itu, seluruh karyawan harus memiliki semangat inovasi. Perbaikan selalu dapat dilakukan agar mempermudah pekerjaan.
Terakhir, budaya visual control wajib melekat erat di semua lini. Artinya, semua karyawan di level manapun harus melihat langsung proses produksi. Jika masalah muncul, pengecekan TKP, atau biasa disebut ‘genba’, wajib dilakukan sebelum memutuskan tindakan solutif.
Sumber :
http://edukasi.kompas.com/read/2015/06/03/15143571/Belajar.Kerja.Sigap.untuk.Hasil.Produksi.Maksimal.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news
No comments:
Post a Comment